Dalam rentang petang yang hampir purna. Menjelang
satu waktu yang dilarang seseorang melakukan shalat sunah. Ia duduk di
shaf terdepan, ditinggal sendirian oleh jamaah lain yang sudah kembali
beraktivitas usai shalat Ashar. Sayang, matahari tak merelakan sinarnya
dinikmati barang sesaat. Ia tertutup awan kelabu semenjak Zuhur
menggema. Angin musim dingin membuatnya harus menutup rapat jaketnya
sampai leher. Ia sebenarnya tak ingin berlama-lama di masjid ini. Ibadah
berantai baru saja dilakukannya, mulai shalat sunah, shalat berjamaah,
berdoa, lalu sekarang:
“Nawaitu ‘itikafa lillahi ta’ala” dalam hati ia berniat.
Setengah jam sudah berlalu, tapi ia belum menemukan
juga apa yang dicarinya. Kakinya mulai kaku karena karpet warna hijau
lumut itu tak sanggup memberinya kehangatan. Pipinya yang berwarna putih
berubah kemerahan disebabkan darah yang tak lancar. Pikirannya kini
kembali tak menentu, padahal besok ia harus ujian pelajaran tafsir.
Pikirannya bercabang kemana-mana; hutang yang belum terbayar, beasiswa
yang terhenti, persiapan ujian mid semester yang berantakan dan
pertanyaan ibunya: “kapan mau pulang?”
Buku psikologi yang kerap dibacanya tak dapat
membantu. Teori-teori modern pengembangan diri juga tak mampu memberikan
solusi kini. Hatinya tetap gelisah, pikirannya kalut. Ia akhirnya
menyerah, karena ketenangan yang dicarinya tak kunjung datang. Ia
bergegas pulang, ke kamar kostnya yang tak jauh dari masjid. Sesampai
dikamar ia buka catatan hariannya, ingatannya tertuju pada tulisan
refleksinya tentang keajaiban Al-qur’an. Diejanya pelan tulisan itu:
“Para sahabat dulu mempunyai perasaan yang tinggi
dengan Al-Qur’an. Setiap masalah, kegoncangan jiwa, kesedihan, obatnya
hanya satu yaitu Al-Qur’an.” Ia berhenti sejenak meresapi apa yang
dibacanya. Lalu berlanjut,
“Seorang sahabat Ahnaf Bin Qais punya kebiasaan
menarik, sebelum membaca Al-Qur’an, selalu terlebih dahulu ia membaca
surat Al Anbiya ayat 10, ‘sesungguhnya telah Kami turunkan kepada
kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan
bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?’ lalu ia mulai membaca
Al-Qur’an dan menemukan dirinya”. Hatinya terjaga begitu selesai membaca
paragraf itu. Tapi setan membisikkan keraguan dalam dadanya. Benarkah
dalam kalamullah itu ada dirinya? Adakah tempat di mana kegersangan jiwa
yang dihadapinya mendapat solusi?
Sesaat kemudian, keyakinannya menguat, Al-Qur’an
adalah obat apa yang ada di dalam dada. Maka ia pun bergegas berwudhu
dengan menghadirkan hati, lekuk demi lekuk ia basuh dengan penghayatan.
Usai berwudhu ia melakukan shalat sunah dua rakaat, dan memohon dalam
sujudnya agar ditunjukkan dalam Al-Qur’an setiap permasalahan yang
membuat hatinya gundah.
Al-Qur’an dibuka olehnya begitu saja dengan tanpa
melihat suratnya. Ia memulai tilawahnya pelan dengan menghadirkan
segenap perasaan, konsentrasi, dan berusaha memahami ayat-ayat berbahasa
Arab itu. Jenak-jenak jiwanya bergetar saat membaca ayat 86 surat
Yusuf, yang merekam perkataan nabi Ya’kub AS, ‘…sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku…’
“Benar, Aku memang tidak pernah mengadukan setiap masalah kepada Allah. Aku mungkin sombong.” Lisannya berkata lirih.
Ia belum puas lalu melanjutkan bacaannya, jenak-jenak jiwanya kembali bergetar saat ia membaca surat Ar-Ra’d (Guruh) ayat 22, ‘dan
orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka,
secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan
kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik…’
“Ya Allah, betul. Aku memang belum bisa bersabar
dengan baik. Aku sering marah hanya karena masalah kecil. Shalatku dan
sedekahku belum sepenuhnya aku lakukan.” Ia mengakui kekurangannya.
Tilawahnya berlanjut hingga getar jiwanya ditutup dengan ayat 28, ‘…orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tentram.”
Setelah itu ia tak sanggup lagi membaca, butiran-butiran bening
membasahi pipinya yang ditumbuhi cambang lebat. Ia terisak menangis,
betapa benar yang disebutkan Aal-qur’an itu. Betapa kesibukan telah
melalaikannya begitu jauh dari mengingat Allah, organisasi, dan
bisnisnya yang sukses pelan-pelan telah menjauhkannya dari berzikir
kepada Allah. Tapi, diam-diam ia bersyukur. Kisah sahabat Ahnaf Bin Qais
telah memberinya kepengalaman spiritual baru, dengan itu ia berniat
meneladaninya. Jenak-jenak jiwanya kembali tenang. Namun, ingatannya
kembali terjaga. Besok pagi ujian tafsir! Buku itu baru dibaca
setengahnya. Ia bergerak meraihnya diatas meja.
Kemarin kawan saya menceritakan pengalamannya itu.
Tanpa tanya yang banyak, saya langsung menyatakan tertarik dengan
kisahnya itu. Darinya ada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab,
“Bagaimana perasaan Anda dengan Al-Qur’an?”
Di dalam hati saya menjawab, “biasa-biasa saja.” Tapi
jawaban yang keluar justru lain, “Saya belum mampu mentadaburinya.”
Yang dibalas dengan senyum tipis oleh teman satu angkatan itu.
Hari ini saat-saat kejenuhan memuncak, karena rutinas kuliah dan
pekerjaan jurnalistik yang terus bertambah, dalam diam saya mencoba apa
yang dilakukan sahabat Ahnaf Bin Qais itu, mengingat-ingat dalam hati
dan jenak-jenak jiwa yang letih.
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu
sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu.
Maka apakah kamu tiada memahaminya?”M. Yayan Suryana
eramuslim .com