Bukankah
Ka’bah itu rumah Tuhan dan pengikut agama-agama Ilahi juga menyembah
Tuhan? Bukankah banyak nabi Ilahi menunaikan shalat dan dikebumikan di
kota suci ini? Lantas mengapa hanya kaum Muslimin yang dibolehkan untuk
masuk ke kota ini?
Seluruh
nabi Ilahi menyeru seluruh manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun
masa syariat masing-masing agama hanya berlaku hingga datangnya syariat
nabi baru setelahnya yang telah diberitakan pada agama sebelumnya.
Setelah kedatangan agama baru dari sisi Tuhan dan diutusnya nabi baru
disertai dengan mukjizat dan tanda-tanda kenabian maka seluruh pengikut
agama sebelumnya bertugas untuk mengikuti agama baru. Karena itu, dengan
datangnya Islam, seluruh agama sebelumnya telah dianulir dan para
pengikutnya bertugas untuk mematuhi instruksi-instruksi Islam sebagai
agama pamungkas dan paling sempurna Ilahi. Adapun orang-orang yang
membangkang perintah Ilahi ini akan tergolong sebagai orang kafir.
Hukum-hukum
orang-orang seperti ini adalah bahwa mereka tidak boleh dan terlarang
untuk memasuki Masjid al-Haram. Ulama berkata bahwa dalil hukum larangan
ini adalah ayat yang menyatakan, ““Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun
ini.” (Qs. Al-Taubah [9]:28) Di kalangan fukaha Syiah
bahkan di antara seluruh kaum Muslimin bersepakat dalam masalah ini
bahwa Ahlulkitab tidak boleh memasuki Masjid al-Haram.
Jelas
bahwa kota suci Mekkah adalah ibu kota ruhani Islam dan sentral wahyu
serta rumah Allah (baitullah) terdapat di kota suci tersebut. Atas dasar
itu, kota Mekkah adalah kota suci; karena merupakan masjid dan setiap
masjid adalah suci. Masjid dijadikan sebagai tempat suci karena
merupakan tempat dan lokasi untuk berpikir dan beribadah. Sebagai
hasilnya, kekotoran dan pikiran-pikiran setan tidak memiliki tempat di
dalamnya. Karena itu, kita dapat menyaksikan para penafsir al-Qur’an
dalam tafsir-tafsir mereka yang membahas masalah ini.
Pengarang Tafsir al-Kâsyif
dalam hal ini menulis, “Diwajibkan untuk mencegah masuknya setiap najis
– baik manusia atau hewan dan lain sebagainya atau najis dari jenis
benda-benda cair (baik bersifat material atau non-material) yang dapat
menyebabkan mengalir atau tersebarnya (najis tersebut) yang akan
menyebabkan penodaan kehormatan masjid atau tidak – ke setiap masjid.
Dan apabila terdapat najis dalam masjid maka diwajibkan untuk mensucikan
dan mengeluarkannya.
Pengarang tafsir Min Huda al-Qur’ân menyebutkan tiga hal sebagai falsafah atas pelarangan ini:
Pertama,
syirik merupakan keyakinan yang sesat dan batil. Kebudayaan yang
dibangung di atas syirik merupakan kebudayaan yang rusak. Dan diwajibkan
bagi kaum Muslimin untuk menjaga jarak dengan orang-orang musyrik
sehingga tidak menyisakan pengaruh negatif pada kaum Muslimin.
Kedua,
kaum musyrikin tidak memiliki keharusan beramal terhadap aturan-aturan
dan adab-adab Islam utamanya terkait dengan masalah kebersihan dan
kesehatan badan. Karena itu, mereka tidak boleh diperkenankan memasuki
kota-kota yang dihuni mayoritas kaum Muslimin yang memiliki
aturan-aturan dan instruksi-instruksi tersendiri.
Ketiga,
negara-negara Islam harus mandiri dari sisi perekonomian, karena itu
mereka harus berusaha semaksimal mungkin supaya mencapai swa-sembada
perekonomian sehingga meraih kemerdekaan yang seutuhnya, khususnya
terkait dengan segala kebutuhan seperti bahan-bahan makanan, minuman
sehingga mereka tidak terpaksa menengadahkan tangan kepada orang-orang
asing.
Karena itu,
jelas bahwa orang-orang seperti ini (kaum musyrikin dan orang-orang
kafir) tidak memiliki kelayakan untuk memasuki tempat-tempat suci dan
hal ini merupakan suatu hal yang masuk akal. Tatkala kita saksikan bahwa
kebanyakan negara mencegah masuknya orang-orang asing ke negara mereka,
sebelum mereka diperiksa oleh tim medis dan menyatakan keselamatan
orang tersebut. Nah, keselamatan jasmani sedemikian tinggi
signifikansinya apatah lagi keselamatan ruhani dan pikiran. Apakah Islam
tidak memiliki hak untuk menjaga keselamatan pikiran para penganutnya!
Kendati
seluruh nabi Ilahi menyeru seluruh manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan menaati-Nya. Namun semenjak masa pengutusan nabi-nabi, aturan dan
sunnah Ilahi berlaku demikian bahwa setiap nabi dipatuhi pada masanya
hingga sebelum masa datangnya seorang nabi baru yang membawa instruksi
baru. Dan segera setelah datangnya nabi baru yang membawa instruksi baru
atau diutus dengan argumen-argumen dan tanda-tanda yang terang maka
agamanya akan dianulir dan seluruh pengikutnya bertugas untuk mengikuti
agama baru. Dan sebagaimana pada masa Nabi Musa As satu-satunya agama
yang diterima adalah ajaran Nabi Musa dan agama nabi-nabi sebelumnya
dianulir. Pada masa Nabi Isa As satu-satunya agama yang diterima Allah
Swt adalah ajaran Nabi Isa As, semenjak pengutusan Nabi Muhammad Saw dan
pensyariatan agama Islam, satu-satunya agama yang diterima Allah Swt
adalah agama Islam dan selainnya, tidak akan diterima. Hal ini
ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Barang
siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.” (Qs. Ali Imran [3]:85)
Dengan
demikian masa kini, kita tidak dapat memandang orang-orang yang
mengetahui dan tidak menerima Islam sebagai hamba Allah yang taat dan
beriman sebagaimana Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw, “Katakanlah,
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Ali Imran [3]:31)
Atas dalil ini kebanyakan para juris memandang Ahlulkitab dan pengikut
agama-agama monotheisme (Ibrahim) tergolong sebagai orang kafir dan
musyrik. Dan mereka memandang bahwa orang kafir dan musyrik tidak boleh
diperkenankan memasuki Masjid al-Haram sebagaimana Allah Swt tidak
memberikan izin kepada kaum musyrikin untuk memasukinya. Allah Swt
berfirman, “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah
mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (Qs. Al-Taubah [9]:28)
Lebih
dari itu, kebanyakan juris Syiah meyakini bahwa non-Muslim, tidak dapat
memasuki salah satu masjid di mana pun masjid itu berada.
Dalam pembahasan-pembahasan fikih, terkait dengan pembahasan jihad, tatkala sampai pada hukum-hukum ahlidzimmah
(orang-orang kafir yang berada dalam lindungan pemerintahan Islam),
para juris Syiah mengemukakan pembahasan ini dan memandang supaya setiap
orang kafir dzimmah untuk “tidak memasuki masjid-masjid” sebagai sebuah tugas yang harus dijalankan. Tatkala orang-orang kafir dzimmah,
yang menjalani hidup mereka di bawah naungan pemerintahan Islam, tidak
dapat memasuki masjid, maka taklif kaum Musyrikin dan orang-orang mulhid
(atheis) serta orang-orang kafir yang hidup di negeri-negeri kafir
menjadi jelas. Artinya larangan bagi mereka lebih besar. Dan tatkala
mereka dilarang memasuki masjid-masjid biasa maka tugas mereka untuk
tidak memasuki masjid dengan segala kebesarannya seperti Masjid al-Haram
juga menjadi jelas.
Syaikh
Thusi bersabda, “Dalil kami “atas larangan kepada orang-orang kafir
untuk tidak memasuki masjid-masjid” adalah firman Allah Swt, “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Taubah [9]:28)[1]
Dalil
terpenting yang dikemukakan baik para fakih Syiah dan juga juris Sunni
atas larangan masuknya orang-orang kafir ke Masjid al-Haram adalah ayat “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun
ini.” (Qs. Al-Taubah [9]:28)
Karena
para fakih menyatakan bahwa orang musyrik tidak terkhusus bagi para
penyembah berhala dan mereka yang memandang adanya sekutu bagi Tuhan
dalam masalah uluhiyyah, melainkan juga mencakup Ahlulkitab. Juris kawakan Syiah, pengarang kitab Jawâhir al-Kalâm berkata, “Syirik juga termasuk (seperti apa yang dilakukan) Yahudi dan Kristen, karena Allah Swt berfirman , “Orang-orang Yahudi berkata, “‘Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putra Allah.”[2] “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[3] Dan juga firman Allah Swt kepada Isa, “Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain
Allah.’ Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.” [4] Dan inilah ucapan orang-orang Kristen yang berkata, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Allah adalah salah satu dari tiga tuhan”[5]
Karena itu, berdasarkan penafsiran atas syirik, ayat suci di samping
melarang orang-orang Musyrik dan juga mengharamkan Ahlulkitab untuk
memasuki Masjid al-Haram.[6]
Bagaimanapun
kendati terdapat perbedaan dalam makna syirik dan kecocokannya
Ahlulkitab atas redaksi ayat ini, seluruh juris Syiah, bahkan di antara
seluruh kaum Muslimin, bersepakat dalam masalah ini. Karena itu harus
dikatakan bahwa ijma (konsensus para juris Syiah bahkan seluruh kaum
Muslimin) adalah dalil terpenting atas larangan masuknya kaum musyrikin
dan orang-orang kafir ke Masjid al-Haram.[7]
Mekkah al-Mukarramah adalah sebuah tanah suci. Di samping itu, ia juga merupakan ibu
kota ruhani Islam, sentral wahyu dan terdapat rumah Allah (baitullah)
di dalam kota suci tersebut. Di samping itu, ia merupakan sebuah lembah
suci yang merupakan masjid dan setiap masjid adalah suci. Masjid
dijadikan sebagai tempat suci karena merupakan tempat dan lokasi untuk
berpikir dan beribadah. Sebagai hasilnya, kekotoran dan pikiran-pikiran
setan tidak memiliki tempat di dalamnya. Karena itu, kita saksikan para
penafsir al-Qur’an dalam tafsir-tafsir mereka membahas falsafah hukum
ini dan berkata bahwa hukum ini pada kenyataannya merupakan tindakan
pencegahan supaya tempat dan atmosfer suci senantiasa terpelihara
kesucian dan kekudusannya dari segala jenis kotoran dan najis. Syaikh
Jawad Mughniyah dalam tafsir al-Kâsyif dalam hal ini menulis,
“Diwajibkan untuk mencegah masuknya segala jenis najis – baik manusia
atau hewan dan lain sebagainya atau najis dari jenis benda-benda cair
(baik bersifat material atau non-material) yang dapat menyebabkan
mengalir atau tersebarnya najis tesebut yang akan menyebabkan penodaan
kehormatan masjid – ke setiap masjid. Dan apabila terdapat najis dalam
masjid maka diwajibkan untuk mensucikan dan mengeluarkannya.”[8]
Allamah Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, pengarang kitab Tafsir Min Wahy al-Qur’ân, memasuki pembahasan dengan cara yang lebih jelas terkait dengan falsafah hukum (larangan) ini. Katanya, “Seruan ini[9]
dialamatkan kepada orang-orang beriman yang menjelaskan batasan antara
kaum Muslimin dan Musyrikin. Di samping itu, ayat ini juga
mengilustrasikan seluruh ajaran yang jelas dan tegas, sikap berlepas
diri dari kaum Musyrikin dan berjihad melawan mereka. Kesimpulan dan
hasil praktis kesyirikan adalah kekotoran dan kenistaan ruhani dan
maknawi serta seruan kepadanya. Manusia musyrik menjalani hidup dalam
pusaran kenajisan dan kekotoran pikiran, mental dan spiritual. Tatkala
hidup dan atmosfer pikiran, mental dan spiritual berada dalam pusaran
ini dan sepanjang ruh dan pikirannya berada dalam suasana busuk
penyembahan berhala dan alur pikirannya dicekoki sesuatu yang kering dan
tanpa ruh seperti batu, kayu, daging dan sebagainya. Tidak terdapat
tanda-tanda hidup, pikiran dan gerakan ke arah kesempurnaan dalam
dirinya dalam pusaran ini. Apa yang pasti adalah bahwa ruh dan pikiran
manusia yang memiliki kesucian akan merubahnya dan memandunya kepada
sumber mata air yang penuh dan meluap-luap spiritual yang senantiasa
memberikan kehidupan baru kepada manusia; sedemikian sehingga tatkala
berhadapan dengan manusia beriman, ia merasakan akhlak dan iman yang
murni. Dan tatkala hal ini termanifestasi dalam dirinya maka ia akan
menjalin persahabatan dan keakraban denganya. Dengannya ia merasa bahwa
segala sesuatunya itu adalah suci; karena ia bergerak dalam lingkaran
kebersihan internal yang sama sekali tidak dapat dimasuki oleh segala
jenis kekotoran dan akhlak tercela dan seterusnya. Kesucian apa yang
lebih kudus dari aliran sungai iman yang mengalir dalam kalbu dan
pikiran manusia dan hidup bersama Tuhannya dalam setiap alirannya. Tuhan
yang menjadi sumber mata air segala kesucian pada segala sesuatu dan
setiap dimensi kehidupan. Hal ini bersambung dengan segala sesuatu,
dunia dan manusia melalui jalan nurani, fitrah dan dari kedalaman
kesadarannya. Karena itu, sebagaimana iman merupakan penjelas kesucian
nurani dan fitrah maka sebaliknya syirik juga demikian adanya merupakan
penjelas kekotoran dan kenistaan serta endapan-endapan busuk kegelapan,
kebodohan dan kedunguan yang dijalan oleh seorang manusia musyrik dalam
hidupnya. Tatkala kehidupan dan atmosfer pikiran dan ruhani mereka
berada dalam kondisi seperti ini jelas mereka tidak boleh mendekati
masjid. Sebuah tempat yang telah dijadikan Allah Swt sebagai tempat
kesucian dan kekudusan supaya orang-orang yang berada di dalamnya
tersucikan dari dosa dan akhlak tercela serta kebiasaan buruk yang
menjadikan makna hidup sebagai tak bernilai. Lalu bagaimana mungkin kaum
Musyrikin yang beribada menyembah berhala – berhala yang merupakan
simbol seluruh kenistaan pikiran, mental dan spiritual – dapat
diperkenankan memasuki tempat-tempat suci seperti ini.[10]
Pengarang Tafsir Min Huda al-Qur’ân menyebutkan tiga hal sebagai falsafah atas pelarangan ini:
Pertama,
syirik merupakan keyakinan yang sesat dan batil. Kebudayaan yang
dibangung di atas syirik merupakan kebudayaan yang rusak. Dan diwajibkan
bagi kaum Muslimin untuk menjaga jarak dengan orang-orang musyrik
sehingga tidak menyisakan pengaruh negatif pada kaum Muslimin.
Kedua,
kaum Musyrikin tidak memiliki keharusan beramal terhadap aturan-aturan
dan adab-adab Islam utamanya terkait dengan masalah kebersihan dan
kesehatan badan. Karena itu, mereka tidak boleh diperkenankan memasuki
kota-kota yang dihuni mayoritas kaum Muslimin yang memiliki
aturan-aturan dan instruksi-instruksi tersendiri. Jelas bahwa dalam
batasan kesucian dan kebersihan, khamar, air seni, darah dan secara umum
najis adalah penyakit-penyakit yang berbahaya dan seseorang yang
terjangkiti penyakit semacam ini (seorang kafir dan musyrik yang tidak
meyakini kenajisan khamar, darah dan sebagainya) sepanjang tidak
mematuhi aturan masyarakat Islam akan tertolak dari masyarakat Islam.
Ketiga,
negara-negara Islam dari sisi perekonomian mandiri, karena itu mereka
harus berusaha semaksimal mungkin supaya mencapai swa-sembada
perekonomian sehingga meraih kemerdekaan yang seutuhnya, khususnya
terkait dengan segala kebutuhan seperti bahan-bahan makanan, minuman[11] sehingga mereka tidak terpaksa menengadahkan tangan kepada orang-orang asing.[12]
Karena
itu, jelas bahwa orang-orang seperti ini (kaum Musyrikin dan
orang-orang Kafir) tidak memiliki kelayakan untuk memasuki tempat-tempat
suci dan hal ini merupakan suatu hal yang masuk akal. Tatkala kita
saksikan bahwa kebanyakan negara mengantisipasi masuknya orang-orang
asing ke negara mereka, sebelum mereka diperiksa oleh tim medis dan
menyatakan keselamatan orang tersebut. Nah, keselamatan jasmani
sedemikian tinggi signifikansinya apatah lagi keselamatan ruhani dan
pikiran. Apakah Islam tidak memiliki hak untuk menjaga keselamatan
pikiran para pemeluknya!