Social Icons

Pages

Senin, 20 Januari 2014

Mengapa non-Muslim dilarang masuk ke kota Mekkah dan Masjid al-Haram?

Bukankah Ka’bah itu rumah Tuhan dan pengikut agama-agama Ilahi juga menyembah Tuhan? Bukankah banyak nabi Ilahi menunaikan shalat dan dikebumikan di kota suci ini? Lantas mengapa hanya kaum Muslimin yang dibolehkan untuk masuk ke kota ini?
Jawaban Global
Seluruh nabi Ilahi menyeru seluruh manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun masa syariat masing-masing agama hanya berlaku hingga datangnya syariat nabi baru setelahnya yang telah diberitakan pada agama sebelumnya. Setelah kedatangan agama baru dari sisi Tuhan dan diutusnya nabi baru disertai dengan mukjizat dan tanda-tanda kenabian maka seluruh pengikut agama sebelumnya bertugas untuk mengikuti agama baru. Karena itu, dengan datangnya Islam, seluruh agama sebelumnya telah dianulir dan para pengikutnya bertugas untuk mematuhi instruksi-instruksi Islam sebagai agama pamungkas dan paling sempurna Ilahi. Adapun orang-orang yang membangkang perintah Ilahi ini akan tergolong sebagai orang kafir.
Hukum-hukum orang-orang seperti ini adalah bahwa mereka tidak boleh dan terlarang untuk memasuki Masjid al-Haram. Ulama berkata bahwa dalil hukum larangan ini adalah ayat yang menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (Qs. Al-Taubah [9]:28) Di kalangan fukaha Syiah bahkan di antara seluruh kaum Muslimin bersepakat dalam masalah ini bahwa Ahlulkitab tidak boleh memasuki Masjid al-Haram.
Jelas bahwa kota suci Mekkah adalah ibu kota ruhani Islam dan sentral wahyu serta rumah Allah (baitullah) terdapat di kota suci tersebut. Atas dasar itu, kota Mekkah adalah kota suci; karena merupakan masjid dan setiap masjid adalah suci. Masjid dijadikan sebagai tempat suci karena merupakan tempat dan lokasi untuk berpikir dan beribadah. Sebagai hasilnya, kekotoran dan pikiran-pikiran setan tidak memiliki tempat di dalamnya. Karena itu, kita dapat menyaksikan para penafsir al-Qur’an dalam tafsir-tafsir mereka yang membahas masalah ini.
Pengarang Tafsir al-Kâsyif dalam hal ini menulis, “Diwajibkan untuk mencegah masuknya setiap najis – baik manusia atau hewan dan lain sebagainya atau najis dari jenis benda-benda cair (baik bersifat material atau non-material) yang dapat menyebabkan mengalir atau tersebarnya (najis tersebut) yang akan menyebabkan penodaan kehormatan masjid atau tidak – ke setiap masjid. Dan apabila terdapat najis dalam masjid maka diwajibkan untuk mensucikan dan mengeluarkannya.
Pengarang tafsir Min Huda al-Qur’ân menyebutkan tiga hal sebagai falsafah atas pelarangan ini:
Pertama, syirik merupakan keyakinan yang sesat dan batil. Kebudayaan yang dibangung di atas syirik merupakan kebudayaan yang rusak. Dan diwajibkan bagi kaum Muslimin untuk menjaga jarak dengan orang-orang musyrik sehingga tidak menyisakan pengaruh negatif pada kaum Muslimin.
Kedua, kaum musyrikin tidak memiliki keharusan beramal terhadap aturan-aturan dan adab-adab Islam utamanya terkait dengan masalah kebersihan dan kesehatan badan. Karena itu, mereka tidak boleh diperkenankan memasuki kota-kota yang dihuni mayoritas kaum Muslimin yang memiliki aturan-aturan dan instruksi-instruksi tersendiri.
Ketiga, negara-negara Islam harus mandiri dari sisi perekonomian, karena itu mereka harus berusaha semaksimal mungkin supaya mencapai swa-sembada perekonomian sehingga meraih kemerdekaan yang seutuhnya, khususnya terkait dengan segala kebutuhan seperti bahan-bahan makanan, minuman sehingga mereka tidak terpaksa menengadahkan tangan kepada orang-orang asing.
Karena itu, jelas bahwa orang-orang seperti ini (kaum musyrikin dan orang-orang kafir) tidak memiliki kelayakan untuk memasuki tempat-tempat suci dan hal ini merupakan suatu hal yang masuk akal. Tatkala kita saksikan bahwa kebanyakan negara mencegah masuknya orang-orang asing ke negara mereka, sebelum mereka diperiksa oleh tim medis dan menyatakan keselamatan orang tersebut. Nah, keselamatan jasmani sedemikian tinggi signifikansinya apatah lagi keselamatan ruhani dan pikiran. Apakah Islam tidak memiliki hak untuk menjaga keselamatan pikiran para penganutnya!
Jawaban Detil
Kendati seluruh nabi Ilahi menyeru seluruh manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menaati-Nya. Namun semenjak masa pengutusan nabi-nabi, aturan dan sunnah Ilahi berlaku demikian bahwa setiap nabi dipatuhi pada masanya hingga sebelum masa datangnya seorang nabi baru yang membawa instruksi baru. Dan segera setelah datangnya nabi baru yang membawa instruksi baru atau diutus dengan argumen-argumen dan tanda-tanda yang terang maka agamanya akan dianulir dan seluruh pengikutnya bertugas untuk mengikuti agama baru. Dan sebagaimana pada masa Nabi Musa As satu-satunya agama yang diterima adalah ajaran Nabi Musa dan agama nabi-nabi sebelumnya dianulir. Pada masa Nabi Isa As satu-satunya agama yang diterima Allah Swt adalah ajaran Nabi Isa As, semenjak pengutusan Nabi Muhammad Saw dan pensyariatan agama Islam, satu-satunya agama yang diterima Allah Swt adalah agama Islam dan selainnya, tidak akan diterima. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Qs. Ali Imran [3]:85)
Dengan demikian masa kini, kita tidak dapat memandang orang-orang yang mengetahui dan tidak menerima Islam sebagai hamba Allah yang taat dan beriman sebagaimana Allah Swt berfirman kepada Rasulullah Saw, Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Qs. Ali Imran [3]:31) Atas dalil ini kebanyakan para juris memandang Ahlulkitab dan pengikut agama-agama monotheisme (Ibrahim) tergolong sebagai orang kafir dan musyrik. Dan mereka memandang bahwa orang kafir dan musyrik tidak boleh diperkenankan memasuki Masjid al-Haram sebagaimana Allah Swt tidak memberikan izin kepada kaum musyrikin untuk memasukinya. Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (Qs. Al-Taubah [9]:28)
Lebih dari itu, kebanyakan juris Syiah meyakini bahwa non-Muslim, tidak dapat memasuki salah satu masjid di mana pun masjid itu berada.
Dalam pembahasan-pembahasan fikih, terkait dengan pembahasan jihad, tatkala sampai pada hukum-hukum ahlidzimmah (orang-orang kafir yang berada dalam lindungan pemerintahan Islam), para juris Syiah mengemukakan pembahasan ini dan memandang supaya setiap orang kafir dzimmah  untuk “tidak memasuki masjid-masjid” sebagai sebuah tugas yang harus dijalankan. Tatkala orang-orang kafir dzimmah, yang menjalani hidup mereka di bawah naungan pemerintahan Islam, tidak dapat memasuki masjid, maka taklif kaum Musyrikin dan orang-orang mulhid (atheis) serta orang-orang kafir yang hidup di negeri-negeri kafir menjadi jelas. Artinya larangan bagi mereka lebih besar. Dan tatkala mereka dilarang memasuki masjid-masjid biasa maka tugas mereka untuk tidak memasuki masjid dengan segala kebesarannya seperti Masjid al-Haram juga menjadi jelas.
Syaikh Thusi bersabda, “Dalil kami “atas larangan kepada orang-orang kafir untuk tidak memasuki masjid-masjid” adalah firman Allah Swt, Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Taubah [9]:28)[1]
Dalil terpenting yang dikemukakan baik para fakih Syiah dan juga juris Sunni atas larangan masuknya orang-orang kafir ke Masjid al-Haram adalah ayat Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (Qs. Al-Taubah [9]:28)
Karena para fakih menyatakan bahwa orang musyrik tidak terkhusus bagi para penyembah berhala dan mereka yang memandang adanya sekutu bagi Tuhan dalam masalah uluhiyyah, melainkan juga mencakup Ahlulkitab. Juris kawakan Syiah, pengarang kitab Jawâhir al-Kalâm berkata, “Syirik juga termasuk (seperti apa yang dilakukan) Yahudi dan Kristen, karena Allah Swt berfirman , “Orang-orang Yahudi berkata, “‘Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putra Allah.”[2] “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[3] Dan juga firman Allah Swt kepada Isa, “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah.’ Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.” [4] Dan inilah ucapan orang-orang Kristen yang berkata, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Allah adalah salah satu dari tiga tuhan”[5] Karena itu, berdasarkan penafsiran atas syirik, ayat suci di samping melarang orang-orang Musyrik dan juga mengharamkan Ahlulkitab untuk memasuki Masjid al-Haram.[6]
Bagaimanapun kendati terdapat perbedaan dalam makna syirik dan kecocokannya Ahlulkitab atas redaksi ayat ini, seluruh juris Syiah, bahkan di antara seluruh kaum Muslimin, bersepakat dalam masalah ini. Karena itu harus dikatakan bahwa ijma (konsensus para juris Syiah bahkan seluruh kaum Muslimin) adalah dalil terpenting atas larangan masuknya kaum musyrikin dan orang-orang kafir ke Masjid al-Haram.[7]
Mekkah al-Mukarramah adalah sebuah tanah suci. Di samping itu, ia juga merupakan ibu kota ruhani Islam, sentral wahyu dan terdapat rumah Allah (baitullah) di dalam kota suci tersebut. Di samping itu, ia merupakan sebuah lembah suci yang merupakan masjid dan setiap masjid adalah suci. Masjid dijadikan sebagai tempat suci karena merupakan tempat dan lokasi untuk berpikir dan beribadah. Sebagai hasilnya, kekotoran dan pikiran-pikiran setan tidak memiliki tempat di dalamnya. Karena itu, kita saksikan para penafsir al-Qur’an dalam tafsir-tafsir mereka membahas falsafah hukum ini dan berkata bahwa hukum ini pada kenyataannya merupakan tindakan pencegahan supaya tempat dan atmosfer suci senantiasa terpelihara kesucian dan kekudusannya dari segala jenis kotoran dan najis. Syaikh Jawad Mughniyah dalam tafsir al-Kâsyif dalam hal ini menulis, “Diwajibkan untuk mencegah masuknya segala jenis najis – baik manusia atau hewan dan lain sebagainya atau najis dari jenis benda-benda cair (baik bersifat material atau non-material) yang dapat menyebabkan mengalir atau tersebarnya najis tesebut yang akan menyebabkan penodaan kehormatan masjid – ke setiap masjid. Dan apabila terdapat najis dalam masjid maka diwajibkan untuk mensucikan dan mengeluarkannya.”[8]
Allamah Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, pengarang kitab Tafsir Min Wahy al-Qur’ân, memasuki pembahasan dengan cara yang lebih jelas terkait dengan falsafah hukum (larangan) ini. Katanya, “Seruan ini[9] dialamatkan kepada orang-orang beriman yang menjelaskan batasan antara kaum Muslimin dan Musyrikin. Di samping itu, ayat ini juga mengilustrasikan seluruh ajaran yang jelas dan tegas, sikap berlepas diri dari kaum Musyrikin dan berjihad melawan mereka. Kesimpulan dan hasil praktis kesyirikan adalah kekotoran dan kenistaan ruhani dan maknawi serta seruan kepadanya. Manusia musyrik menjalani hidup dalam pusaran kenajisan dan kekotoran pikiran, mental dan spiritual. Tatkala hidup dan atmosfer pikiran, mental dan spiritual berada dalam pusaran ini dan sepanjang ruh dan pikirannya berada dalam suasana busuk penyembahan berhala dan alur pikirannya dicekoki sesuatu yang kering dan tanpa ruh seperti batu, kayu, daging dan sebagainya. Tidak terdapat tanda-tanda hidup, pikiran dan gerakan ke arah kesempurnaan dalam dirinya dalam pusaran ini. Apa yang pasti adalah bahwa ruh dan pikiran manusia yang memiliki kesucian akan merubahnya dan memandunya kepada sumber mata air yang penuh dan meluap-luap spiritual yang senantiasa memberikan kehidupan baru kepada manusia; sedemikian sehingga tatkala berhadapan dengan manusia beriman, ia merasakan akhlak dan iman yang murni. Dan tatkala hal ini termanifestasi dalam dirinya maka ia akan menjalin persahabatan dan keakraban denganya. Dengannya ia merasa bahwa segala sesuatunya itu adalah suci; karena ia bergerak dalam lingkaran kebersihan internal yang sama sekali tidak dapat dimasuki oleh segala jenis kekotoran dan akhlak tercela dan seterusnya. Kesucian apa yang lebih kudus dari aliran sungai iman yang mengalir dalam kalbu dan pikiran manusia dan hidup bersama Tuhannya dalam setiap alirannya. Tuhan yang menjadi sumber mata air segala kesucian pada segala sesuatu dan setiap dimensi kehidupan. Hal ini bersambung dengan segala sesuatu, dunia dan manusia melalui jalan nurani, fitrah dan dari kedalaman kesadarannya. Karena itu, sebagaimana iman merupakan penjelas kesucian nurani dan fitrah maka sebaliknya syirik juga demikian adanya merupakan penjelas kekotoran dan kenistaan serta endapan-endapan busuk kegelapan, kebodohan dan kedunguan yang dijalan oleh seorang manusia musyrik dalam hidupnya. Tatkala kehidupan dan atmosfer pikiran dan ruhani mereka berada dalam kondisi seperti ini jelas mereka tidak boleh mendekati masjid. Sebuah tempat yang telah dijadikan Allah Swt sebagai tempat kesucian dan kekudusan supaya orang-orang yang berada di dalamnya tersucikan dari dosa dan akhlak tercela serta kebiasaan buruk yang menjadikan makna hidup sebagai tak bernilai. Lalu bagaimana mungkin kaum Musyrikin yang beribada menyembah berhala – berhala yang merupakan simbol seluruh kenistaan pikiran, mental dan spiritual – dapat diperkenankan memasuki tempat-tempat suci seperti ini.[10]
Pengarang Tafsir Min Huda al-Qur’ân menyebutkan tiga hal sebagai falsafah atas pelarangan ini:
Pertama, syirik merupakan keyakinan yang sesat dan batil. Kebudayaan yang dibangung di atas syirik merupakan kebudayaan yang rusak. Dan diwajibkan bagi kaum Muslimin untuk menjaga jarak dengan orang-orang musyrik sehingga tidak menyisakan pengaruh negatif pada kaum Muslimin.
Kedua, kaum Musyrikin tidak memiliki keharusan beramal terhadap aturan-aturan dan adab-adab Islam utamanya terkait dengan masalah kebersihan dan kesehatan badan. Karena itu, mereka tidak boleh diperkenankan memasuki kota-kota yang dihuni mayoritas kaum Muslimin yang memiliki aturan-aturan dan instruksi-instruksi tersendiri. Jelas bahwa dalam batasan kesucian dan kebersihan, khamar, air seni, darah dan secara umum najis adalah penyakit-penyakit yang berbahaya dan seseorang yang terjangkiti penyakit semacam ini (seorang kafir dan musyrik yang tidak meyakini kenajisan khamar, darah dan sebagainya) sepanjang tidak mematuhi aturan masyarakat Islam akan tertolak dari masyarakat Islam.
Ketiga, negara-negara Islam dari sisi perekonomian mandiri, karena itu mereka harus berusaha semaksimal mungkin supaya mencapai swa-sembada perekonomian sehingga meraih kemerdekaan yang seutuhnya, khususnya terkait dengan segala kebutuhan seperti bahan-bahan makanan, minuman[11] sehingga mereka tidak terpaksa menengadahkan tangan kepada orang-orang asing.[12]
Karena itu, jelas bahwa orang-orang seperti ini (kaum Musyrikin dan orang-orang Kafir) tidak memiliki kelayakan untuk memasuki tempat-tempat suci dan hal ini merupakan suatu hal yang masuk akal. Tatkala kita saksikan bahwa kebanyakan negara mengantisipasi masuknya orang-orang asing ke negara mereka, sebelum mereka diperiksa oleh tim medis dan menyatakan keselamatan orang tersebut. Nah, keselamatan jasmani sedemikian tinggi signifikansinya apatah lagi keselamatan ruhani dan pikiran. Apakah Islam tidak memiliki hak untuk menjaga keselamatan pikiran para pemeluknya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar