Akhir Deritaku di Benteng Kuto Besak
Malam hari, di kamar yang sepi terlihat seorang gadis sedang tertidur pulas setelah ia melaksanakan sholat tahajud, tentu saja itu aku. Namaku Farah, usiaku baru genap 14 tahun dan aku punya saudara kembar namanya Faras. Aku sangat usil pada Faras meskipun ia kakakku, tapi itulah yang membuat orang yang berada di sekitar kami merasa senang dan menyayangi kami.
Pagi pun tiba…
“Krrriiiiinnggg” jam weker berdering.
Aku terbangun dan bergegas menuju kamar mandi, namun tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Eh iya, hari ini Ayah kan ulang tahun” ujarku dengan wajah ceria seraya menatap cermin di samping kamar mandi, kemudian aku segera masuk dan mandi.
“Farah... buruan donk! aku nggak mau telat lagi” teriak Faras yang sudah siap.
“Iya bentar lagi kok” sahutkuku.
Tak lama kemudian aku keluar dari kamar dengan jilbab putihku yang terlihat sangat rapih.
“Pagi Faras” sapaku pada Saudara tunggalku.
“Pagi” jawabnya singkat.
Faras adalah kakakku, walaupun jarak usia kami hanya dua menit. Faras seorang ketua OSIS di sekolah yang super sibuk. Karena wajahnya yang tampan, Faras menjadi incaran setiap wanita di sekolah tapi Ia tidak pernah peduli.
“Pagi semua” sapa Ayah pada kami.
“Pagi Ayah” jawab Faras.
“Ayah… happy birthday ya?” ucapku pada Ayah dan mencium pipinya.
“Idih, emang sekarang tanggal berapa” sindir Faras.
“Farah, Ayah ulang tahunnya masih sebulan lagi kok” jelas Ayah.
Aku pun tersipu malu dan Faras tertawa terbahak-bahak melihat wajahku yang memerah bagikan buah delima yang siap dimakan, kemudian kami segera sarapan. Tiba-tiba sekilas wajah Bunda terlintas dalam pikiranku, “Coba kalau Bunda juga ada” gumamku.
Sejak kecil aku dan Faras tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Bunda. Bunda meninggal saat kami berusia satu tahun, kerena penyakit kanker rahim yang Bunda derita setelah melahirkan kami.
“Maaf tuan, di depan ada temennya Mas Faras, namanya Mas Riki, katanya mau ngajak berangkat bareng” kata bi Inah dengan suara halus.
“Ya udah bi, suruh dia tunggu sebentar. Ayah, Faras berangkatnya bareng Riki aja” pinta Faras pada Ayah.
Setelah Faras pergi, tak lama kemudian mobil jemputanku sudah ada di depan rumah. Karena Faras pergi bersama temanya, terpaksa aku harus pergi sendirian.
“Ayah, mobilnya udah datang, Farah berangkat dulu ya, assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, hati-hati ya!”
Namun tiba-tiba terdengar suara yang keras, ternyata aku terjatuh karena tertabrak patung kayu yang ada di samping pintu. Rasa sakit yang aku tahan membuat Ayah semakin khawatir dan berlari menghampiriku.
“Farah nggak apa-apa kan?” tanya Ayah
“Nggak Ayah, Farah nggak apa-apa kok! Cuma pusing aja” jelasku pada Ayah seraya menahan rasa sakit di dahiku yang membiru.
“Farah berangkat ya?” sekali lagi aku pamit pada Ayah.
“Bener? Ya sudah lebih hati-hati ya sayang…” jawab Ayah tidak yakin.
***
Tiba di sekolah aku segera menemui sahabat terbaikku. Sejak kecil kami telah bersahabat, suka dan duka kami lalui bersama.
“Shila…” panggilku pada Shila yang berada di depan kantor.
“Loh, udah siang gini kok kamu baru dateng? Kemana aja? Bentar deh, dahi kamu kenapa? Kok biru gitu” tanya Shila heran.
“Kamu itu nanya atau nyerang aku sih” jawabku dingin.
Kemudian aku menceritakan musibah yang menimpaku tadi pagi.
“Bye the way kamu udah ngerjain tugas fisika belum? Aku sih udah, cuma nomor 3 aja yang belum” tanyaku.
“Nomor 3 aku juga belum tuh. Nomor yang lainnya aja belum, alias aku belum ngerjain semuanya” jawab Shila tertawa.
“Capek deh. Eh ya Shil, pulang sekolah ntar kamu temenin aku ke toko buku ya? Di daerah Talang Semut yang di depan Kambang Iwak, mau ya?” ajakku.
“Aku sih mau aja, tapi aku nggak bisa soalnya aku harus jaga rumah. Maaf ya?” tolak Shila secara halus.
“Ya udah nggak apa kok, aku pergi sendiri aja” jelasku.
“Eh Ra, itu Faras kan? Gile… dia cakep banget…” puji Shila.
“Iya dong, liat aja kembarannya, cantik gini” jawabku dengan bangga.
Kemudian Faras mengahampiri kami, sepertinya dia tahu kalau dirinya sedang dibicarakan. Shila yang tersipu malu merasa kalau Faras akan menghampirinya.
“Hai Faras” sapa Shila centil.
“Hai Shil. Eh Ra, kamu pulang sekolah jangan kemana-mana ya, soalnya aku ada rapat OSIS nggak enak kalo nggak dateng. Ya?” pinta Faras memelas.
“Enak aja, aku mau ke toko buku” jawabku singkat.
“Tapi…, ya udah deh rapatnya aku tunda aja, demi saudaraku tercinta” sindir Faras yang kemudian pergi.
“Kamu enak ya, punya saudara sebaik dia, mana cakep lagi” ujar Shila iri.
Mendengar kalimat itu aku segera pergi meninggalkan Shila sendirian dan langsung masuk ke kelas. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera menyelesaikan tugas fisikaku. Kemudian Shila datang dan ikut menyelesaikan tugasnya. Namun tiba-tiba pak Ihsan datang, pelajaran pertama adalah pelajaran sejarah.
“Selamat pagi anak-anak” sapa pak Ihsan.
“Pagi pak” jawab seluruh anak-anak dengan suara keras.
Pak ihsan pun langsung menjelaskan materi hari ini. Saat jam istirahat ternyata para Guru akan mengadakan rapat hingga seluruh siswa di perbolehkan pulang. Begitu juga denganku, setelah sekolah sepi aku segera berangkat ke toko buku untuk menambah daftar buku koleksiku. Saat aku ingin menyeberang menuju halte bus di depan sekolah, kepalaku kembali tarasa pusing, namun aku tetap mencoba menyeberang. Tiba-tiba terlihat mobil pick-up yang melaju dengan kencang, aku terserempet mobil itu tapi sopir mobil itu langsung lari tanpa memperdulikanku. Untungnya aku tidak terluka parah.
***
Keesokan harinya, di kelas yang sunyi itu anak-anak terlihat sangat serius mendengarkan penjelasan dari pak Nagib, namun tiba-tiba ada seorang siswa datang ke kelasku.
“Permisi pak, Keiza Farah Hermawan ditunggu bu Rahma di ruang kepala sekolah. Makasih pak , permisi” dan ia pun langsung pergi.
Panggilan singkat yang disampaikan kepadaku membuat perasaanku semakin kacau, setelah kejadian yang kualami beberapa hari ini. Kemudian aku pun bergegas menuju ruang kepala sekolah untuk menemui ibu Rahma. Ruang kepala sekolah memang berada di tempat yang berbeda dan menggunakan tangga khusus.
Ketika aku sedang menaiki tangga menuju lantai atas tiba-tiba kepalaku terasa pusing, aku terpeleset dan terjatuh dari tangga dengan tubuh terguling-guling hingga kepalaku berkali-kali terbentur tangga dan akhirnya menabrak tiang pembatas, seketika darah memancar deras dari kepalaku.
“Tolong…tolong…tolongin aku…!” pintaku seraya menahan rasa sakit.
Tapi saat itu keadaaan di sekitar sangat sepi, karena letak tangga yang cukup jauh dari ruang kelas hingga jarang orang yang melewati tempat itu kecuali ada urusan penting dengan kepala sekolah.
“Tolooong…aku udah nggak kuat, to…” pintaku sekali lagi namun tiba-tiba aku pingsan.
“Farah kenapa lama sekali ya?” tanya bu Rahma heran.
Karena kesal terlalu lama menungguku, bu Rahma pun segera menyusul. Ketika bu Rahma turun, ia kesal karena melihat minyak bercampur darah yang berceceran, namun tubuh bu Ramah tiba-tiba terlihat kaku, ia melihat aku yang sudah tergolek pingsan.
“Ya Allah, Farah kamu kenapa?” bu Rahma langsung panik.
Kemudian aku segera di larikan ke rumah sakit terdekat menggunakan kendaraan milik bu Rahma.
***
Sesampainya di rumah sakit aku langsung di bawa ke ruang UGD. Dalam waktu singkat Ayah sudah tiba di rumah sakit bersama Faras. Akibat kecelakaan itu sakarang aku dalam kondisi kritis dan koma.
Sudah empat hari aku dalam keadaan koma. Faras yang tak pernah meninggalkan aku walaupun mukannya terlihat sangat pucat. Ia merasa bersalah atas kecelakaan ini, ia pikir tak seharusnya ia membiarkanku pergi sendirian. Karena aku belum juga sadar, dokter memutuskan untuk me-rontgen tubuhku. Dan kebetulan dokternya adalah teman dekat Ayah, dokter Roy, maka Ayah mempercayai semuanya pada dokter Roy. Rontgen pun segera dilaksanakan.
Esok pagi, di kamar inapku dokter menjelaskan hasil rontgen yang dilaksanakan kemarin.
“Her, ini hasil rontgen yang udah kita lakukan kemarin, saya jelaskan sekarang saja sebelum Farah sadar, sebab kalo dia tahu itu sangat berbahaya untuknya” kata dokter Roy pada Ayah.
“Oke” jawab Ayah singkat seraya melihat keadaanku yang memprihatinkan.
Saat itu Shila juga berada di sampingku menanti aku sadar dari tidur panjangku yang sudah cukup lama. Tiba-tiba mataku terbuka, aku pun sadarkan diri, Shila dan Faras sangat senang melihat perkembanganku. Mereka ingin segera memanggil dokter namun aku mencegahnya, karena aku melihat dokter yang sedang berbicara serius dengan Ayah tentang kondisiku, dan mereka pun memilih diam.
“Her, setelah saya teliti ternyata Farah mengidam penyakit sirosis atau kanker hati, itu udah mencapai stadium lanjut” jelas dokter Roy.
“Ya Allah… yang bener Roy” ucap Ayah tidak percaya.
“Saya serius Hermawan, saya ini seorang dokter” suara dokter Roy meninggi. “Dan waktu untuk Farah udah nggak banyak lagi, dari hasil ini Farah paling lama bertahan hanya 15 hari lagi, kalau lebih pun itu mukjizat tuhan. Penyakit ini sebenarnya sudah lama di derita Farah, tapi kamu nggak pernah perhatian sama dia. Maafin saya Her” tambah dokter Roy.
“Memang, Istri saya meninggal juga karena penyakit sialan ini. Sebetulnya beberapa minggu ini Farah sering terlihat aneh, mulai dari hidungnya yang sering keluar darah, sering muntah darah, ia juga sering menabrak benda yang jelas-jelas ada dihadapannya dan banyak lagi. Tapi saya tak pernah terpikir sejauh ini Roy” Ayah bersandar di dinding dengan pasrah.
Shila dan Faras yang ada di sampingku termangu, mereka terkejut tidak percaya dan tanpa terasa air mata sudah membasahi pipi shila. Aku sendiri tak percaya, seakan semua ini hanyalah mimpi buruk kerena aku tidak membaca doa sebelum tidur. Saat aku yakin semua ini benar, aku langsung bangun dari dari tempat tidur, kemudian melepaskan infus yang masih melekat di pergelangan tanganku lalu aku berlari, dengan segera Faras dan Shila menahanku namun karena pikiranku kacau hingga aku bisa mengumpulkan tenaga dan melepaskan tubuhku. Melihat aku tiba-tiba sadar dan pergi, dokter dan Ayah segera berlari mengejarku.
“Farah belum belum mau mati… Farah masih mau hidup…” teriakku seraya menangis dan berlari tanpa arah.
Setelah melewati koridor rumah sakit tiba-tiba aku berhenti di depan sebuah ruangan tepat di ujung koridor, aku yakin itu ruang operasi. Saat itu aku melihat seorang dokter yang gagal menyelamatkan pasiennya, aku juga melihat keluarga pasien yang menangis mendengar berita duka itu.
“Suatu saat kejadian ini bakal terjadi pada diriku, keluargaku juga bakal menangisi kepergianku yang hanya menghitung hari saja” ujarku dalam hati.
“Farah belum mau mati Ayah…” teriakku sambil memeluk Ayah.
“Tenang Farah, Ayah di sini!” Ayah mencoba menenangkanku.
Kemudian aku dibawa ke kamar. Tiba dikamar pandangaku terpusat pada seorang gadis kecil yanga sedang asyik bermain dengan Ayahnya di samping kamar rawatku.
“Aku belum mau mati…Aku masih ingin hidup…” ucapku lagi dengan suara berbisik.
***
Selama tiga hari dirawat, kondisiku sedikit membaik. Aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Ketika sampai di rumah, semua keluarga dan temen-temannku telah menantiku, namun tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui kondisi tubuhku yang sebenarnya, aku tidak mau menambah beban orang lain.
Berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Helai demi helai rambutku pun mulai rontok. Suatu hari Ayah jatuh sakit, aku diminta Faras menemui Ayah, namun aku menolak dan tetap tidak keluar kamar.
“Farah Ayah sakit, dia kangen sama kamu, udah empat hari kamu nggak keluar kamar. Kamu juga belum makan, sekarang keluar ya…!” bujuk Faras.
“Nggak mau, biar aku mati disini aja!” jawabku.
“Astaghfirullah Farah, umur orang itu Allah yang mengatur bukannya dokter. Kamu jangan percaya omongan dokter Roy” jelas Faras.
“Kenapa sih, kamu masih peduli sama orang penyakitan yang udah mau mati kayak aku, Ras?” ujarku.
“Karena kamu adikku, Farah, adik yang sangat aku sayangi. Aku juga nggak mau kamu menderita kayak ini, kalo bisa biar aku yang gantiin kamu. Aku siap dan aku rela” Jawab Faras seraya menahan air matanya yang membendung.
Aku terdiam, akhirnya aku sadar dan mau keluar kamar, namun kondisiku tak seperti dulu, sekarang tubuhku terlihat lebih kurus, rambutku sudah hampir botak karena terlalu sering rontok dan wajahku pun sangat pucat. Aku segera minta maaf pada Ayah dan berjanji akan menjalani semuanya dengan tegar.
Keesokkan harinya, seperti biasa aku mengikuti kemoterapi untuk memperlambat penyakit kanker-ku menjalar ke seluruh tubuh. Hidupku tak bisa lepas dari obat-obatan yang harus selalu aku minum. Aku tak mengerti, sudah berapa ratus juta uang yang Ayah keluarkan demi kesembuhanku. Malam itu, setelah aku pulang melakukan kemoterapi aku diminta Ayah segera istirahat, namun saat aku ingin menemui bi Inah, aku tidak sengaja mendengar percakapan Ayah dan Faras.
“Ras, Ayah nggak tahu lagi harus bayar pengobatan Farah pake apa. Uang Ayah sudah hampir habis” ujar Ayah.
“Iya Ayah, aku ngerti. Kita harus lebih sabar menghadapi ujian Allah, tapi uangku juga udah nggak cukup lagi buat menutupi semua ini, apa aku perlu cari kerja?” jawab Faras.
“Nggak perlu kok, kamu masih terlalu kecil. Biar Ayah aja. Eh iya, apa uang di tabunganmu masih sisa?” tanya Ayah.
“Ayah, uang yang tempo hari aku kasih itu uang dari tabunganku. Sekarang aja uangnya hampir habis” jelas Faras.
“Jadi kita harus gimana? Kasihan Farah, dia kan masih kecil harus menderita seperti ini” Ayah tambah bingung.
Melihat pengorbanan Ayah dan Faras aku merasa bangga tapi di satu sisi aku merasa bersalah, tak seharusnya aku menambah beban Ayah. Sekarang aku bertekad akan berusaha untuk sembuh walaupun itu hanya impian belaka.
Esok harinya aku memilih untuk sekolah. Tiba di sekolah, semua anak-anak merasa terganggu dengan kehadiranku, aku tak mengerti kenapa. Untungnya Shila selalu membelaku.
Hari ini aku kembali mengikuti kemoterapi, saat Ayah terlihat bingung memeikirkan uang administrasi tiba-tiba ada seorang dermawan yang ikhlas membantu keluargaku membiayai pengobatanku. Dengan begitu, aku bisa tetap melanjutkan kemoterapi ini.
Pagi ini aku mencoba melihat kalender ternyata ini hari ke sepuluh setelah aku divonis kanker hati, namun keadaanku tetap stabil. Tiga hari kemudian. Seperti biasa aku tetap pergi sekolah walaupun wajahku terlihat semakin pucat. Saat aku tiba di kelas, bel pun berbunyi, jam pertama hari ini adalah Matematika.
Setelah membahas materi, bu Tik-tik menagih tugas anak-anak yang ia berikan satu minggu yang lalu, aku bingung, aku tidak mengerjakan tugas itu karena aku tidak masuk. Dengan alasan tidak masuk, aku santai mengakuinya pada ibu Tik-tik, seorang guru Matematika yang terkenal berwajah angker dan sulit memaafkan bagi siapapun yang melanggar perintahnya. Namun tetap aku mendapat hukuman.
“Cepat kamu keluar dan hormat pada bendera hingga tiba waktu pulang nanti” perintah Bu Tik-tik.
Aku segera keluar menjalankan hukumanku. Keringat yang bercucuran membuat basah bajuku, sudah dua jam aku dihukum tapi waktu pulang masih lama. Sebelum dihukum kondisiku baik-baik saja, tapi karena terlalu lama dijemur tiba-tiba kepalaku terasa pusing, wajahku memerah, hidungku keluar darah, dan seketika aku pingsan.
Beberapa menit kemudian bel berbunyi tandanya istirahat. Shila pun bergegas keluar, saat melihatku ia sangat panik dan kebingungan. Setelah dibantu oleh beberapa temanku, aku dibawa ke ruang UKS, dengan cepat Shila segera menelpon Ayahku. Karena peralatan UKS kurang memedai akhirnya aku segera dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil ambulance. Dalam mobil itu aku ditemani Shila dan beberapa suster, sedangkan Ayah menunggu di rumah sakit.
***
Saat perjalanan menuju rumah sakit aku dibantu dengan alat bantu pernapasan hingga akhirnya aku pun sadar, namun kondisiku semakin memburuk. Tak henti darah mengalir dari hidungku dan aku selalu muntah darah. Karena kondisiku ini, mobil yang membawaku pun melaju sangat kencang tapi tuhan berkehendak lain, mobil kami terjebak macet panjang karena terjadi kecelakaan hingga kami harus menunggu.
Sudah terlalu lama kami menunggu dan kondisiku semakin memburuk, wajahku pucat, tubuhku terasa dingin. Aku putus asa, aku capek, aku lelah memperjuangakan kehidupanku yang aku yakin akan sia-sia. Saat ini aku merasa waktuku hanya beberapa menit lagi. Aku mencoba membersihkan darah yang berceceran diwajahku lalu aku mencoba duduk namun Shila selalu mencegahku.
“Shila, ini ada dimana?” tanyaku pada Shila dengan suara terbata-bata.
“Kita baru nyampe di jembatan Ampera, kita terjebak macet” jawab Shila.
Rasa sakit ini tak bisa aku sembunyikan lagi, aku menangis, menjerit kesakitan. Aku mencoba bertahan tapi aku sudah tak sanggup lagi, aku meremas baju Shila. Shila terlihat sangat kebingungan, tak tahu apa yang harus ia lakukan namun ia mencoba menutupinya.
Kemudian aku meminta Shila membawaku keluar dari mobil menuju Benteng Kuto Besak tepat di bawah jembatan Ampera. Awalnya Shila menolak, Shila takut terjadi sesuatu namun aku terus dan terus memaksanya. Dengan izin suster, akhirnya aku dibawa menggunakan kursi roda, namun Shila tak pernah melepaskan genggamannya dari tanganku.
“Shila, tolong kamu bilang sama semuanya kalo aku minta maaf, aku kan suka usil sama mereka. Bilang juga kalo sebenernya aku sayang sama mereka. Ya Allah… Farah sayang sama Ayah dan Faras, tolong lindungi mereka. Shil, aku seneng banget kamu mau bawa aku kesini. Akhir deritaku di Benteng Kuto Besak, lucu ya !” dengan suara terbata-bata, aku mencoba mengurangi kecemasan Shila.
Setelah aku tersenyum lebar, aku segera memeluk Shila seraya mengucap janji akan selalu bersamanya selamanya. Namun, tak lama kemudian nyawaku terbang menghadap sang Khalik bersama semua penderitaanku. Aku telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan semua kenangan dan semua orang yang aku cintai dan mencintaiku.
Saat Shila melepaskanku dari pelukkannya, ia melihat tubuhku lemas dan sudah tidak bernapas lagi. Shila terus memanggilku, memukul pipiku hingga ia sadar aku sudah pergi.
“Faraaaaaaaaaaah !!!” teriak Shila melepas kepergianku.
***
Ternyata benar kata Faras, umur orang hanya Allah yang tahu. Seperti umurku, diagnosa dokter aku hanya bisa bertahan lima belas hari, tapi kenyataannya aku hanya bertahan tiga belas hari. Jauh dari perkiraan dokter Roy.
Setelah proses pemakamanku selesai, semua orang meninggalkan makamku. Lewat Faras, Shila mendapat peninggalan terakhirku. Sebuah kotak yana berisi barang-barang kesayanganku dan sebuah buku berisi kata-kata terakhirku. Shila membuka lembaran demi lembaran dan terus dibacanya, tiba-tiba Shila menemukan tulisan jelek yang sepertinya tulisan itu ditujukan untuk Tuhan.
Dear God,
Ya Allah… terima kasih karena aku sudah diizinkan hidup di dunia walaupun hanya sebentar.
Ya Allah… mengapa takdirku sungguh menyedihkan, segala yang aku impikan kandas hanya karena penyakit ini.
Ya Allah… kelak saat aku pergi, aku minta semua orang tak ada yang melepas kepergianku dengan tangis.
Ya Allah… kelak saat aku pergi, aku mohon Engkau menjaga sahabat dan keluargaku, mereka yang sangat aku sayangi.
Ya Allah… Engkau maha mengetahui, kabulkanlah pintaku ya Rabbi…
Air mata Shila mengalir deras membasahi kertas yang bertuliskan sejuta harapanku, hingga ia tak sadar malam telah menggantikan siang.
“Ya Allah… aku nggak tau, apa aku sanggup meneruskan hidupku dengan separuh nyawaku yang ikut melayang bersama Farah. Ya Allah… kabulkanlah semua harapan dan doa Farah, dan terimalah sahabat terbaikku di surga-Mu. Amin” pinta Shila sebelum ia berkelana menuju mimpinya.
“Selamat tinggal sahabatku….” Ucapnya sambil menutup matanya.
Hidup memang tidak selalu mulus, tidak seperti yang kita harapkan. Tapi yang namanya cinta berbalut kasih sayang dan dibungkus dengan kesetiaan akan selalu terasa meski kita telah berada di tempat yang berbeda karena cinta adalah milik dan hak setiap orang tanpa pengecualian. Aku akan selalu tetap menjadi sahabat bagi Shila sampai kapanpun juga.
****
Sinopsis : Akhir Deritaku di Benteng Kuto Besak
Bagiku sahabat adalah tampat berbagi, hanya bersamanya aku bisa merasa nyaman. Aku dan dia bersahabat sejak kecil, mulai dari belajar berjalan hingga belajar naik sepeda. Persahabatan kami terkadang dikotori dengan pertengkaran, namun sesegera mungkin kami membersihkanya hingga bersih kembali.
Keiza Farah Hermawan itulah namaku, tapi a
ku lebih sering dipanggil Farah dan sahabatku bernama Shila Azahra. Tak hanya sahabat yang menyempurnakan hidupku, dengan kehadiran saudara yang kembar denganku, hidupku semakin sempurna, ia bernama Kiesha Faras Hermawan.
Tapi kini kesempurnaan itu telah hilang, ketika penyakit sirosis menyerang tubuhku. Penyakit yang belum ada obatnya. Saat pertama kali aku di vonis penyakit ini, aku merasa dengan sisa hidupku ini aku sudah tidak ada gunanya lagi, semua impian dan cita-citaku kandas, hancur bersama organ tubuhku yang semakin lama kurang berfungsi lagi. Kata dokter Roy hanya mukjizat yang dapat menolongku.
Tak ada lagi keceriaan, tak ada lagi kegembiraan. Gelak tawa, riang canda kini tak lagi menyapa hari-hariku, namun senyumanku tak pernah hilang dari wajah manisku. Penderitaanku tak hanya itu saja, di tengah proses pengobatanku tiba-tiba Ayah kekurangan dana untuk pengobatanku. Saat semua kebingungan, tiba-tiba datang seorang dermawan yang ikhlas membantu keluargaku membiayai pengobatanku, dengan begitu aku tak perlu lagi memikirkan soal dana.
Hingga akhirnya aku mulai putus asa memperjuangkan kehidupanku, karena aku yakin akan sia-sia. Aku tak sanggup lagi menahan semua ini, aku meminta sahabatku membawaku ke tempat yang sangat aku sukai yaitu Benteng Kuto Besak. Dengan senyuman dan dalam pelukan hangat dari sahabatku, aku pergi menghadap sang Khalik untuk selama-lamanya, menyisakan sejuta kenangan dan meninggalkan orang-orang yang kucintai dan mencintaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar