Beberapa minggu yang lalu, gua harus dihadapkan pada kenyataan bahwa smartphone kesayangan gua, yang cuma satu-satunya, rusak. Rusak dalam artian benar-benar gak bisa digunain lagi. Matot, alias mati total.
Segala cara udah gua coba, mulai dari googling ke sana kemari, tanya sana sini, menggunakan jasa temen yang ahli soal ginian, bawa ke counter resmi, sampe bawa ke tukang service yang ada di mal-mal IT. Dan hasilnya sama aja; gak bisa dibenerin.
Yang menjadi masalah adalah smartphone itu adalah sumber mencari nafkah gua (selain laptop). Dan itu smartphone rusaknya tepat di tengah keadaan ekonomi gua yang kurang oke, dalam artian banyak pengeluaran lain yang harus gua prioritaskan dibandingkan untuk membeli yang baru.
Hingga sampai kepada sebuah kesimpulan, bahwa mau gak mau gua harus hidup tanpasmartphone, senggaknya sementara waktu sampai uang kekumpul lagi. Dan dalam waktu yang sementara itu gua kembali menggunakan handphone klasik, yang hanya punya dua fitur dalam hidupnya; telepon dan SMS.
Yang namanya perubahan, pasti membutuhkan proses buat penyesuaian. Dan itulah yang gua rasakan ketika itu, terutama dalam hal merubah kebiasaan. Secara gak sadar, saking seringnya melakukan segala sesuatu dengan handphone, kita pun jadi (jadi bukan Raam, Raam Pun Jadi) ketergantungan dengan benda yang satu ini. Bahkan untuk urusan sehari-hari yang terkesan sepele dan harusnya gak ada hubungannya dengan teknologi komunikasi, smartphone pun jadi seolah-olah ‘dipaksa’ buat ikut dalam urusan tersebut.
Ada banyak contohnya, dan mungkin kalian semua udah tahu dan menyadari. Dari mulai bangun tidur sampai kembali menuju tidur, gua yakin smartphone selalu ada di dekat kalian dalam setiap kesempatan dan kegiatan. Gua pun yakin beberapa di antara kalian ketika masuk ke kamar mandi ada yang selalu menyertakan smartphone untuk dibawa masuk, dan menjadikan mandi kalian lama, hingga dimarahi orang-orang serumah karenanya.
Kalau dipikir-pikir, coba, sejak kapan kita jadi punya kebiasaan dan ketergantungan sampai sebegitunya dengan smartphone?
Bicara soal mengubah kebiasaan, gua pun jadi kepikiran tentang kebiasaan yang secara gak sadar udah gua ubah demi menyesuaikan diri dengan teknologi. Betapa dulu hidup rasanya gak perlu tahu dan kepikiran dengan urusan orang lain (yang sebenernya gak penting untuk diketahui), betapa dulu makan hanyalah sebatas mengunyah-menelan-bayar tanpa perlu ada embel-embel dokumentasi, betapa dulu ketika ingin mengeluh pilihannya cuma ada dua: simpan sendiri atau curhat ke teman dekat.
Maka selama waktu yang sementara tanpa smartphone itu, gua berusaha untuk kembali ‘hidup’ kembali ke kebiasaan lama. Toh gak ada salahnya untuk mengenang kemudian mengulang kembali hal yang sudah lama kita tidak lakukan dan rasa-rasanya baik untuk dilakukan.
Di satu sisi, usaha gua untuk kembali ‘hidup’ disambut baik dengan tangan terbuka oleh kehidupan itu sendiri. Salah satu yang paling terasa adalah gua kembali melakukan kegiatan sosial dalam artian sebenarnya; tatap muka dan saling membaca gestur, yang tentunya terasa jauh lebih hangat dan intim, gak seperti yang selama ini cuma kita lakukan dalam batasan-batasan maya.
Gua pun bisa kembali melakukan kegiatan-kegiatan gua dengan lebih fokus, tanpa merasa perlu memberi tahu orang-orang terlebih dahulu. Menjelang tidur misalnya, secara gak sadarsmartphone sudah mengubah perilaku kita, untuk melakukan hal-hal yang gak perlu, seperti membuka-buka timeline social media misalnya. Membuat kita seolah-olah lupa, bahwa tidur itu hanyalah sebatas memejamkan mata.
Dan karena handphone yang gua kenakan ‘hanya’ bisa sebatas menelepon dan SMS, tanpa adamessenger dan chat service yang kaya dengan fitur emoticon-nya, maka gua kembali sering melakukan panggilan telepon, mendengar suara dari seberang telepon sana. Dan mungkin, beberapa di antara kalian yang membaca tulisan ini, sudah lupa bagaimana nikmatnya mendengar kabar melalui ucapan langsung dari orang yang bersangkutan.
Tapi pada akhirnya, kembali lagi kepada kenyataan bahwa selalu ada sisi baik dan buruk ketika kita dihadapkan pada proses pengambilan keputusan yang bertentangan dengan perubahan zaman.
Selama waktu yang sementara itu, gua merasa termarjinalkan, terpinggirkan. Oleh siapa? Oleh kenyataan bahwa kini manusia sudah tidak bisa dengan mudahnya menerima begitu saja kalau ada kawanannya yang berbeda dalam hal teknologi. Gua merasa diabaikan oleh society itu sendiri.
Ada beberapa momen ketika gua merasa perlu menanya kabar seseorang, yang seseorang itu bahkan bisa dikategorikan sebagai teman dekat, dan berujung pada ucapan-ucapan seperti:
“Yah, kemana aja lo. Makanya rajin-rajin buka Path dong.”
“Ah payah lo, emang gak baca di group?”
“Lah kan gua udah share foto-fotonya, emang gak liat?”
dan sebagainya.
Yang mau gak mau memaksa gua untuk berpikir, apa memang kita sudah benar-benar tidak bisa berkompromi untuk hal yang satu ini? Walaupun memang, masih ada yang tetap bisa ‘bertahan hidup’ dengan hanya menggunakan handphone klasik. Tapi berapa banyak? Terlebih lagi di dunia kerja yang sangat kompetitif dan memaksa orang untuk senantiasa berlomba menjadi yang paling cepat dalam mengetahui sesuatu.
Hingga akhirnya waktu yang sementara itu berakhir, dan gua kembali menggunakansmartphone. Dan pada akhirnya, ini semua berujung kepada satu kesimpulan yang sudah gua tuliskan di awal, bahwa biar bagaimanapun juga, segala sesuatu yang ingin bertahan hidup di dunia ini haruslah mengikuti perkembangan zaman.
Tinggal bagaimana pintar-pintarnya kita sendiri dalam menyikapi perkembangan zaman itu sendiri. Apakah kita mau selamanya terbawa arus ketergantungan yang berujung pada menumpulnya hidup dan pikiran?
Sekian, wassalam. Namaste.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar