Ketahuilah, Allah Ta’ala hanya akan memberi kekayaan pada hati yang pandai bersyukur.
Islam adalah agama yang mengutamakan amal, derma, kebaikan, kemurahan hati, dan tolong-menolong. Dan sedekah merupakan elemen utama dalam hal ini.
Islam adalah agama yang mengutamakan amal, derma, kebaikan, kemurahan hati, dan tolong-menolong. Dan sedekah merupakan elemen utama dalam hal ini.
Kata sedekah atau shadaqah disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 15 kali dan semuanya turun pasca-hijrah, yakni di Madinah.
Sedekah berasal dari kata shadaqah, yang
berarti “benar”. Menurut pengertian istilah syari’at, sedekah berarti
“segala pemberian amal derma di jalan Allah”.
Pengertian sedekah lebih luas daripada infak. Infak berkaitan dengan materi, sedang sedekah juga menyangkut hal yang non-materi.
Dari segi makna syar’i, hampir tidak ada
perbedaan makna antara sedekah dan zakat. Bahkan, Al-Qur’an sering
menggunakan kata sedekah dalam pengertian zakat.
Allah SWT berfirman, “Ambillah sedekah
(zakat) dari sebahagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan
dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa
kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” -- QS At-Tawbah (9): 103.
“Sesungguhnya sedekah-sedekah
(zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” -- QS
At-Tawbah (9): 60.
Rasulullah SAW dalam hadits pun sering
menyebut sedekah dengan makna zakat, seperti dalam haditsnya, “Harta
yang kurang dari lima watsaq tidak ada kewajiban untuk membayar sedekah
(zakat).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Begitu juga dalam hadits yang
mengisahkan pengiriman Mu’adz bin Jabal RA ke Yaman. Rasulullah SAW
memberi perintah, “Beri tahu mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka
untuk mengeluarkan sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka....”
Dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah bab 11, Imam Al-Mawardi mengatakan, sedekah itu adalah zakat dan zakat itu adalah sedekah.
Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda,
“Tiap muslim wajib bersedekah.”
Sahabat bertanya, “Jika tidak bisa?”
“Hendaklah dia bekerja dengan kedua tangannya yang berguna bagi dirinya dan dia dapat bersedekah.”
“Jika tidak bisa?”
“Bantulah orang yang sangat butuh pertolongan.”
“Jika tidak bisa?”
“Menganjurkan kebaikan.”
“Jika tidak bisa?”
“Menahan dirinya dari kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri.”
Sahabat bertanya, “Jika tidak bisa?”
“Hendaklah dia bekerja dengan kedua tangannya yang berguna bagi dirinya dan dia dapat bersedekah.”
“Jika tidak bisa?”
“Bantulah orang yang sangat butuh pertolongan.”
“Jika tidak bisa?”
“Menganjurkan kebaikan.”
“Jika tidak bisa?”
“Menahan dirinya dari kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri.”
Dari penjelasan hadits di atas, sedekah
tidak harus dengan mengeluarkan sejumlah materi atau uang. Tetapi semua
amal kebajikan yang dilakukan seorang muslim, seperti menjaga kebersihan
lingkungannya, bersopan-santun, bahkan sekadar memberikan senyuman pun,
tergolong sedekah. Termasuk membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil,
hingga bersenggama dengan istri, adalah sedekah.
Sedekah harus menjadi makanan pokok
dalam hidup kita, baik dalam keadaan kaya maupun miskin. Jangan jadikan
kemiskinan sebagai tembok penghalang untuk bersedekah. Bahkan dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW menyatakan bahwa Allah menyukai orang kaya
yang dermawan, namun Allah lebih menyukai orang miskin yang dermawan.
Banyak kisah, baik dalam kitab-kitab
maupun pengalaman pada masa kini, yang telah menceritakan keberkahan
yang melimpah setelah seseorang bersedekah.
Keteladanan para SahabatSahabat-sahabat
Rasulullah menjadi teladan dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf
menyumbangkan sebahagian besar kekayaannya untuk membantu kaum Muhajirin
saat tiba di Madinah, hingga ia sendiri hanya memakai satu-satunya
pakaian terbaiknya dan sepetak tanah untuk berteduh. Begitu pun dengan
Sayyidina Ali RA.
Suatu hari Sayyidina Ali mendapati kedua
anaknya, Al-Hasan dan Al-Husain, jatuh sakit. Ia berupaya mencari
pengobatan buat kedua buah hatinya.
Lama belum ada hal yang menunjukkan
kesembuhan, Sayyidina Ali bernadzar, “Ya Allah, jika kedua putraku ini
sembuh, aku akan berpuasa selama tiga hari.”
Allah mendengar nadzarnya hingga Allah memberikan kesembuhan bagi kedua cucu Rasulullah SAW itu.
Sayyinida Ali dan istrinya, Sayyidah Fathimah, pun berpuasa untuk memenuhi nadzar itu.
Singkat cerita, menjelang berbuka puasa
di hari pertama puasa nadzar itu, mereka hanya memiliki dua kerat roti
kering. Saat akan berbuka, belum lagi disantapnya roti itu, datanglah
seorang fakir miskin yang kelaparan dan meminta tolong keduanya. Maka
roti itu diberikan seluruhnya, melihat keadaan si peminta-minta yang
sangat membutuhkan uluran itu. Urunglah keduanya menyantap makanan
berbuka.
Pada hari kedua, mereka punya sepotong
roti yang dipersiapkan untuk disantap saat berbuka. Ketika tiba saat
berbuka, lagi-lagi datang seseorang yang membutuhkan uluran tangan
keduanya. Kali itu seorang anak yatim yang kurus meminta sesuap makanan,
sehingga Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah pun memberikannya.
Keduanya pun berbuka hanya dengan air putih.
Demikian juga saat hari ketiga. Ketika
waktu berbuka, datang seorang tawanan yang baru dibebaskan dan
membutuhkan makanan dari keduanya. Mereka berdua pun akhirnya merelakan
satu-satunya roti kering yang mereka persiapkan untuk berbuka.
Sebuah pelajaran yang amat mengharukan
dari keluarga Rasulullah Muhammad SAW, yang penyantun dan penyabar.
“Idza da’ahul miskinu ajabahu ijabatan mu`ajjalah (Jika orang miskin
menyerunya, dijawabnya sesegera mungkin).” Demikian untaian kata Habib
Ali bin Muhammad Al-Habsyi dalam uraian Maulid Nabi karyanya, Simthud
Durar.
Kisah Sayyidina Ali ini Allah Ta’ala
abadikan dalam surah Al-Insan (76): 8-10, “Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang
ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu
dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan
(adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang
bermuka masam penuh kesulitan.”
Sudah menjadi suatu kewajiban bagi
seorang muslim untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya. Tidak dipungkiri, banyak saudara muslim yang memperoleh
keluasan dan kemudahan atas ikhtiarnya itu. Sementara di sisi lain, ada
sebahagian saudara yang hidup sebatas cukup, bahkan di bawah standar
kecukupan. Dan Islam pun telah mengatur skema dan mekanisme sedekah dan
jenis-jenisnya, seperti zakat, infak, hibah, sehingga kehidupan sosial
berjalan sesuai titian yang ditunjukkan Allah SWT.
Bersedekah merupakan aktivitas seorang
muslim yang memiliki sifat keutamaan, karena ketinggian derajat seorang
muslim sangat ditentukan oleh sebesar dan sejauh mana ia memiliki
kepedulian dan kepekaan sosial kepada muslim lainnya.
Harta bukan untuk ditumpuk dan dinikmati
sendiri. Seorang muslim harus ingat bahwa ada kewajiban yang harus
ditunaikan terhadap harta itu, karena di dalamnya juga ada hak orang
lain. Sesungguhnya, bersedekah bukan hanya untuk kepentingan orang lain,
tapi juga terlebih untuk kepentingan kita sendiri, sebagai bekal, baik
di dunia maupun di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar