Saat ini, sungguh naif jika kita percaya
media mainstream akan memberikan opini yang netral dan berimbang
terhadap semua hal. Mereka akan memberikan opini yang sesuai dengan
kepentingan sang pemilik (gimana kalo pemiliknya adalah Ryan Jagal?).
Sungguh sangat berbahaya jika kita menganggap semua yang diberitakan
media adalah berita yang 100% benar, tanpa berusaha mengkritisi dan
mencari berita dari sudut pandang lain sebagai penyeimbang. Yuk, kita
kritisi kata-kata bijak penutup ini..
“Menonton atau membaca
pornografi, kekerasan, atau apapun tidak akan mempengaruhi saya. Toh
semua manusia dibekali filter untuk menyaring, dan otak untuk berfikir.
Jadi mau saya baca atau tonton ribuan kali pun , tidak akan merubah
pendirian saya.. Satu kali nonton konser lady Gaga tidak akan membuat yg
nonton jd pemuja setan dan lesbian kan?”
Hohohoho.. Yuk kita bandingkan keadaan
sekarang dan keadaan 20 tahun yang lalu, tahun 80-90an. Zaman dulu, seks
bebas di Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya. Untuk kaum remaja
saat itu, bergandengan tangan di depan umum saja, sudah menimbulkan
ledekan yang membuat sang pelaku ingin menceburkan diri ke selokan
terdekat. Lihat anak-anak sekarang? Mungkin anda sendiri yang dengan
sukarela akan menceburkan diri ke selokan terdekat saat melihat gaya
mereka berpacaran. Bahkan sekarang mereka dengan senang hati menyebarkan
prilaku mereka dalam bentuk video yang jumlahnya mulai menyaingi
produksi film porno Amerika dalam setahun.. Kenapa bisa bergeser?
Apa anda kira para orang tua dan guru lah yang menanamkan dogma:
“Anakku, kamu harus rajin-rajin seks bebas yaa, biar dapat rangking..
Yuk kita memasyarakatkan seks bebas dan menseks bebaskan masyarakat..”?
Jadi, siapa yang mengajari mereka? Jawabannya
sederhana: media massa. Selama berpuluh-puluh tahun mereka menggempur
otak bawah sadar kita dengan berbagai film, buku, berita, cerita,
sinetron, dan lain-lain yang secara sangat halus menyiratkan: “Seks
bebas itu hal yang biasa aja cooy.. Anak gaul, malu dong jika masih
perawan di usia 18. Tuh, banyak artis idola kamu yang melakukannya.”
Memang benar 1000 kali membaca, atau 1x nonton Lady Gaga belum tentu
merubah kita.. Tapi, pesan-pesan itu ditanamkan selama berpuluh-puluh
tahun, dalam bentuk jutaan pesan per, dari berbagai arah, terhadap anda
dan keluarga anda. Yakin anda dan keluarga anda tidak terpengaruh
sedikitpun
Siapa yang paling mudah bobol? Tentu saja anak anda.
Anda kira, kenapa iklan McDonald dan rokok mengarah kepada anak-anak dan
remaja? Karena merekalah berada dalam fase yang labil dan paling mudah
dipengaruhi, dibandingkan orang tuanya. Saat mereka menjadi dewasa dan
lebih bijaksana, rokok, junkfood dan seks bebas itu sudah menjadi
kebiasaan mereka, candu mereka, sehingga mereka akan sangat sulit
meninggalkannya, walau akhirnya paham kerusakan macam apa yang ada
dibaliknya.
Tetap ngga ngaruh maaas, iman gue kan KW1″ Mungkin.
Tapi, sedikit banyak, anda akan terpengaruh. Anda akan menjadi permisif:
“Biar ajalah orang lain melakukannya, yang penting aku tidak.. Toh
banyak yang melakukan, dan itu bukan urusanku”. Itulah yang menjadi
target selanjutnya: menanggalkan kontrol sosial anda.. Jika laju ‘cuci
otak’ ini terus berlanjut, sepuluh tahun ke depan, jangan heran jika
akhirnya kitalah yang mengekspor video porno ke Amerika dan masyarakat
Amerika lah yang nonton konser Iwak Peyek Tour 2022..
Jangan melihat siapa yang mengatakan
dong. Kalau mau mengkritisi, kritisi gagasannya, kata-katanya,
fikirannya. Jangan kritisi pribadi dan kelakuannya (bahasa alaynya: ad
hominem).”
Oalaaah.. Saya beri contoh kasus ringan.
Misalnya, kata-kata ini diucapkan dua orang yang berbeda: “Saya akan
memajukan bangsa Indonesia. Saya akan berjuang menciptakan budaya bebas
korupsi, pola hidup sederhana, dan mengikis habis kebohongan birokrat
dan legislatif” Yang pertama, diucapkan oleh Buya Hamka. Satu lagi,
diucapkan Angelina Sondakh. Saya rasa, yang pertama membuat anda
manggut-manggut percaya, dan yang kedua membuat anda setengah mati
menggigit bibir, lalu terguling karena tertawa terbahak-bahak.. Kenapa
kata-kata yang sama persis, dengan nada sama persis, tapi diucapkan oleh
dua orang yang berbeda, hasilnya bisa berbeda? Setiap kata-kata,
sebijak apapun, selalu ada motif dibaliknya. Dan motif itu, sangat
terkait dengan pribadi orang yang mengucapkannya. Jadi, kenapa kita
tidak boleh mengkritisi pribadi yang mengucapkannya?
Jika anda ingin minta pendapat tentang
gaya rambut, anda bertanya kepada penata rambut, atau ke tukang las?
Jika saya bilang “lha masa tukang las mengerti soal gaya rambut”, apa
itu ad hominem?
Kasus Irshad Manji adalah contoh lain yang gamblang
tentang hal itu. Dia dibesar-besarkan media sebagai seorang reformis
muslim yang berusaha mencerahkan umat Islam. Tapi di dalam bukunya, ia
membantah prinsip-prinsip Islam sendiri dengan cara mempromosikan
lesbian, gay dan transgender, menghina jilbab, bahkan meragukan
kesempurnaan Al Quran.. Jika kita mengkritisi pribadinya yang lesbian
(dan tentu saja ia akan berjuang keras agar lesbian dihalalkan dalam
Islam) dan mengkritisi sikapnya yang meragukan Al Quran, di mana
salahnya? Bukankah kita memang selalu menilai siapa yang berbicara,
bukan hanya apa yang ia ucapkan? Bagaimana mungkin dia seorang muslim,
jika ia meragukan Al Quran? Itu kan sama saja dgn ia mengaku lesbian,
sambil menyatakan lagi jatuh cinta dgn Rhoma Irama.. Lha kenapa jika
kami meragukan keislamannya, tiba-tiba muncul teriak-teriak histeris “Ad
hominem! Ad hominem!?”
Nah, kata bijak terakhir ini, mungkin
adalah yang paling masuk akal, dan paling sulit dibantah. Tapi mungkin
juga, inilah kata-kata bijak yang paling koplak..
Di masyarakat yang plural ini, janganlah
ada pemaksaan kehendak. Biarlah setiap orang melakukan pilihannya
sendiri, tanpa paksaan. Sesuatu yang dipaksa itu pasti tidak baik. Nilai
yang dianut setiap orang berbeda, jadi jangan paksakan nilai yang kamu
anut terhadap orang lain.. Jangan jadi tirani mayoritas..”
Sulit membantahnya kan?
Pertama-tama, saya tanya dulu: apakah sebagian besar
dari kita memang dengan sukarela masuk kerja jam 8 dan pulang jam 5 atau
bahkan lembur? Apakah memang kita yang memohon-mohon agar jatah cuti
kita setahun cukup dua minggu? Apa anda memang luar biasa ikhlas dengan
jumlah gaji anda sekarang? Jika tidak, kenapa anda tidak coba mengatakan
kepada atasan anda sekarang:”Maaf pak, sebenarnya saya menganut paham
bahwa kerja itu hanya 3 jam sehari, cuti 6 bulan dalam setahun, dengan
gaji minimal 30 juta. Jadi, jangan paksakan kehendak bapak..”
Apa anda dulu saat remaja belajar dengan sukarela, ikhlas bin legowo?
Semua hukum dan undang-undang, apalagi
dalam alam demokrasi, pada prinsipnya, adalah pemaksaan kehendak, dari
sebagian besar masyarakat yang sepakat, kepada masyarakat lainnya yang
tidak sepakat. Memangnya semua orang setuju dengan UU tentang Narkotika?
Atau UU tentang Korupsi? Atau bahkan UU Pajak? Apa anda kira semua
wajib pajak memang sudah gatal setengah mati ingin membayar pajak
sebesar itu? Lha kenapa kaum liberal ga pernah menjerit-jerit di
jalanan: “Jangan paksakan kehendak! Biarkan mereka bayar pajak
seikhlasnya..”
Jadi kenapa, saat ada penduduk di suatu
daerah setuju untuk memberlakukan perda anti prostitusi, perjudian dan
miras, dengan hukuman cambuk bagi pelakunya, kaum liberal tiba-tiba
lantang berteriak “Itu melanggar HAM!”. Anda kira memenjarakan orang itu
tidak melanggar HAM nya untuk hidup bebas merdeka? Dan kenapa, ketika
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi berusaha disahkan, tiba-tiba saja
prinsip demokrasi berdasar suara terbanyak dianggap sebagai tirani
mayoritas? Jika memang begitu, ga ada salahnya dong jika para pecandu
narkoba dan miras ramai-ramai naik xenia untuk demo di jalanan dan
berteriak “Jangan jadi tirani mayoritas! Kalian sudah melanggar HAM kami
untuk ajeb-ajeb sampai pagi..”.
Jika saja setiap undang-undang harus
disepakati semua orang dulu baru bisa disahkan, maka kita tidak akan
pernah punya undang-undang satu pun. Yang tidak boleh, adalah memaksa
dengan kekerasan. Jika sudah banyak yang setuju, dan memang UU itu demi
kebaikan bersama (sama seperti kita dipaksa belajar saat remaja), di
mana salahnya?
Penutup
Jujur, saya tidak membenci orang-orang liberal.
Beberapa teman-teman dekat saya adalah orang liberal. Dan saya tahu,
beberapa dari mereka, memang yakin bahwa yang mereka perjuangkan adalah
demi kebaikan bangsa.. Tapi, banyak juga di antara mereka yang hanya
ingin menciptakan lingkungan yang tepat, untuk melampiaskan nafsu
mereka..
Tapi, saya koq sama sekali tidak sreg melihat arah
menuju kebebasan yang mulai sangat kebablasan ini. Lihat generasi muda
kita. Terus terang, jika melihat gang motor melintas yang membuat saya
ngeri, video porno remaja yang terbit seminggu sekali, anak-anak SD di
warnet yang saling memaki sambil mendownload lagu “selinting ganja di
tangaaan…”, remaja yang membentak ibunya, siswa SMP menjual diri demi
beli handphone, dan penjual narkoba yang jauh lebih banyak daripada
indomaret, saya kadang-kadang pingin kemas-kemas dan pesan tiket ojek
sekali jalan ke Timbuktu. Bukan ini lingkungan yang saya bayangkan bagi
saya dan anak-anak saya kelak.. Dan saya bisa bayangkan masa depan
negara kita jika para remaja yang seperti ini yang menjadi para pemimpin
kita kelak..
Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Mengharapkan media mainstream untuk mendidik remaja kita, sama saja
seperti mengharapkan Lady Gaga mengisi kuliah subuh. Mereka lah yang
menolak paling keras dan berjuang menggiring opini masyarakat setiap
kali kita ingin negara mengendalikan mereka. Kadang-kadang, saya merasa,
mereka lah yang menjadi lembaga superbody. Dan ingatlah: para wartawan
media, adalah karyawan, yang tunduk pada kehendak majikan mereka.
Jurnalisme warga seperti kompasiana, forum-forum
seperti kaskus, blog-blog, dan media-media online lainnya, mungkin
itulah satu-satunya harapan kita di masa depan. Sulit melawan media
mainstream? Jelas, jika dilakukan sendirian. Tapi, saya yakin, banyak
orang-orang yang memiliki nurani di luar sana yang, saya harap, bersedia
menyeimbangkan dan memulihkan cuci otak masyarakat dari pengaruh yang
telah media massa berikan. Ingatlah, revolusi raksasa yang merubah
bangsa Arab sudah membuktikan, bahwa kekuatan jurnalisme warga yang
bersatu bahkan mampu menumbangkan para pemimpin yang didukung salah satu
negara terkuat di dunia. Demi hidup kita, dan hidup anak-anak kita, apa
itu bukan sesuatu yang pantas diperjuangkan?
Orang-orang yang mencari kebenaran itu, seperti air..
Jika dihadang, ia berbelok. Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika
dibendung dengan menggunakan beton dalam bendungan raksasa, ia akan
menguap.. Ia tidak akan pernah lelah mencari jalannya…”Dian Jatikusuma
NB:
Jika menurut rekan-rekan tulisan ini pantas dishare, tolong dishare
ya.. Tanpa menyebutkan nama saya juga tidak apa. Biarlah ini jadi amar
makruf nahi munkarnya kita, secara lisan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar