Sahabat, mungkin pertanyaan ini memang tak perlu kau
jawab, karena hal ini memang bukan untuk dijawab. Akan tetapi, tidak ada
salahnya jika hal ini menjadi awalan dari perjalanan kita jauh ke
tempat di mana kau bisa menemukan kejujuran yang hanya kau ketahui
sendiri saja. Tempat itu tak lain adalah hati nuranimu, Sobat!
Ikhlas, satu kata sederhana yang pastinya sudah tidak
asing lagi bagi telinga kita. Kata yang cukup ideal untuk disandingkan
dengan hal-hal yang baik dan cukup indah didengar walau hanya berupa
bisikan. Namun, menurutku ia tak sesederhana
itu. Kalaupun memang ia sesederhana itu, lalu apakah selama ini kita
cukup sering melakukannya? Menjadikan ia sebagai tombak dalam perjalanan
hidup kita? Kalau jawabannya belum bahkan tidak sama sekali, lalu
mengapa hal ini bisa terjadi? Sulitkah? Padahal, bukankah tak ada yang
sulit dalam hal-hal yang sederhana?
Semua pertanyaan-pertanyaan itu seringkali ku
tanyakan pada diriku. Terkadang ia menjadi pengingat yang membimbingku
menemukan ketulusan dalam memberi. Menjeput kelapangan saat musibah
menyapa. Namun, seringkali ia membuatku begitu khawatir. Khawatir jika
kelak aku tergelincir ketika niatku kian membelok dari visi yang menjadi
awal destinasi. Ya, sungguh begitu sulit mencari ikhlas di liang-liang
kehidupan.
Terkadang pikiranku berselancar ke arena yang aku
sendiri tak tahu di mana adanya, sembari bertanya akankah dunia ini
dapat seindah surga apabila seluruh manusia senantiasa melapangkan
ikhlas di dalam dirinya? Rasa yang dapat menepis segala kedengkian,
kekecewaan, dan perasaan lain yang seringkali menjadi penyebab setiap
masalah antara sesama.
Entah, apakah selama ini kita telah memancangkan
ikhlas di dasar hati kita atau belum? Semoga hal ini dapat menjadi arus
yang terus mengingatkan ketika pikir kian pongah, lagu kian angkuh, dan
ego menguasai kendali atas diri. Cobalah sesekali kau tengok, apakah
matahari yang perkasa itu pernah menuntut seluruh semesta untuk
mengganti rugi seluruh jerih payahnya menyinari dunia? Jadilah seperti
jantung yang tersembunyi jauh di dalam ragamu. Ia teramat penting, walau
ia benar-benar jauh tersembunyi. Jantung yang begitu ikhlas menjalani
tugasnya berdegup dan menjadi salah satu sumber kehidupanmu dan akan
terus begitu hingga tugasnya usai yang berarti kau pun akan tutup usia.
Ikhlas tak hanya sekedar kata, Sobat! Ia hidup di dalam hati manusia, ia
tak pernah pergi kemanapun. Akan tetapi, justru seringkali kita tak
menghiraukan keberadaannya, hingga seolah ia pergi dan sulit kau temui
kembali.
Lupakan ucapan terima kasih, pujian, maupun
penghargaan dari sekelilingmu atas usaha yang kau lakukan. Mari kita
lupakan itu. Karena sesungguhnya semua itu hanyalah semu. Apabila memang
ia datang di hadapanmu, syukuri saja nikmat itu. Namun, sesuatu yang
hakiki untukmu masih jauh di depan sana dan kelak akan menjadi bingkisan
terindah yang akan menantimu di tempat itu. Inilah janji Sang Pencipta
pada kita, usah kau ragu atas hal itu. Dan lagi-lagi aku ingin
mengajakmu, mari temui ikhlas di dasar hati kita hingga ia membentuk
diri kita layaknya gula yang membuat manis apapun yang ditaburinya,
walaupun keberadaannya tak pernah disebut-sebut. Tentu tak pernah ada
orang menyebutkan teh gula atau kue coklat gula, bukan? Pasti kita lebih
sering mendengar orang berkata, “Ini teh manis dan yang itu kue coklat
(tanpa kata gula)”. Namun, semua orang tetap tahu bahwa gula yang telah
mengubah semuanya menjadi terasa lebih manis.
* * *
Jangan lagi kau dendangkan langkahmu
Saat ego merajai singgasana pikirmu
Saat hatimu tak lagi mampu sujud tersungkur
Dan semburat ikhlas belum terlukis dalam nuranimu
Sebab, Rabbmu tak mau lihat itu
Tak mau terima itu
Dan tak mau biarkan itu bersemayam dalam haribaan makhlukNya yang rindu naungan firdaus
Lihat dia…
Dia yang dititah menyinari dunia hingga Sang Yaumul Ahir tiba
Surya yang tak bervisi ‘tuk dikenal dunia, dihargai dengan tahta, dan perhelatan akbar
Namun, serentak dunia menyambutnya
Dengan asa dan senyum yang sumringah
Mencoba melangkah dan mengurai kisah bersamanya
Pernahkah kau lakukan itu kawan?
Pernahkah kau seperti itu?
Layaknya bintang yang fenomenal itu?
Jangan kawan…
Jangan lagi kau langkahkan kakimu
Ketika kerikil kesombongan masih menyelinap dalam kalbumu
Sebab, hal itu tak membedakanmu layaknya buih di lautan itu…
Oleh: Mega Trishuta Pathiassana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar