Social Icons

Pages

Senin, 07 Oktober 2013

Asal Usul Kota Padang

Asal Usul Kota Padang Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”Padang” berarti suatu tanah yang datar dan luas, atau lapangan luas. Kondisi tersebut menjadi inspirasi bagi lahirnya nama kota Padang. Secara topografi kota Padang merupakan dataran rendah yang dikelilingi bukit-bukit yang tidak begitu tinggi. Di kota ini bermuara dua buah sungai yaitu Batang Kuranji dan Batang Arau. Pada Abad ke-14 (1340—1375) di Minangkabau ada sebuah kerajaan dibawah pemerintahan Adityawarman. Pada masa itu wilayah Padang cuma dikenal sebagai kampung nelayan, orang menyebutnya Kampung Batung. Ke-tika itu Padang diperintah oleh Penghulu Delapan Suku dengan sistim pemerintahan nagari. Sekitar abad ke-15 dan 16 kerajaan Aceh dibawah pemerintahan Iskandar Muda meluaskan wilayah ke-kuasaan dan perdagangannya sampai ke pesisir pantai barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman, dan Indrapura. Padang sebagai daerah pantai masa itu telah disinggahi oleh pedagang–pedagang dari daerah lain yang akan terus ke Aceh. Akhir abad ke-16 masa jaya Kerajaan Aceh mulai turun, daerah-daerah yang dikuasai kerajaan Aceh mulai melepaskan diri, dan pada waktu bersamaan di nusantara ini mulai beroperasi perusahaan dagang Belanda, di-kenal dengan nama VOC (Verenigde Ost Indisehe Company). VOC menerapkan politik devide at impera (pecah belah) dalam perluasan perdagangan dan kekuasaannya. Akibatnya timbul ketegangan masyarakat di kota-kota pesisir pantai Sumatera. Kerajaan Aceh dipropaganda oleh VOC seolah akan menguasai Padang. VOC berdalih membantu masyarakat menghadapi Aceh. VOC menyadari dan melihat Padang sangat strategis dan dijadikan pusat perdagangan dan pe-merintahan. Pulau Cingkuak, dan Batang Arau lebih baik dijadikan sebagai daerah pelabuhan. Melalui penghulu terkemuka Padang yang bernama Orang Kayo Kaciak VOC dapat izin mendirikan loji pertama pada tahun 1667 di kota Padang. Inilah titik awal Padang tumbuh se-bagai sebuah kota. Tidak cuma sebagai pelabuhan tetapi ju-ga sebagai pusat perdagangan. Gudang-gudang besar mulai dibangun untuk tempat pengumpulan barang. Pelabuhan Muara begitu sibuk melayani arus perdagangan, sehingga wilayah ini tumbuh menjadi pusat pemukiman. Belanda tidak saja meluaskan perdagangannya melalui VOC, tetapi mulai dapat memerintah masyarakat. Dari Muara Padang ini pusat pemerintahan dan per-dagangan Belanda digerakkan ke seluruh pelosok Sumatera bagian tengah. Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan dikalangan rakyat. Rakyat merasakan bahwa Belanda tidak lagi berdagang, tetapi sudah menjajah. Rakyat mulai melakukan perlawanan. Puncaknya terjadi pada tanggal 7 Agustus tahun 1669 di mana masyarakat Pauh dan Koto Tangah berhasil menguasai loji-loji Belanda di Muara serta banyaknya Belanda yang dibunuh. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai tahun kelahiran Kota Padang. Setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi kota Padang. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Pada tahun 2006 ini kota Padang telah berusia 337 tahun, persisnya tanggal 7 Agustus 1669 - 7 Agustus 2006. Berbagai bentuk pembangunan dilaksanakan. Derap langkah pembangunan terus dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan warga. Padang sedang berbenah diri untuk menjadi kota industri, kota perdagangan dan kota pariwisata. Saat ini Padang sudah termasuk kota besar. Potensi dan letaknya yang strategis menjadikan Padang sebagai pintu gerbang wilayah barat pulau Sumatera. Posisi yang strategis itu mengakibatkan pertumbuhan dan perkem-bangan kota berlangsung cepat. Tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan Padang sebagai ”titik simpul” bagi per-tumbuhan dan perkembangan Indonesia di wilayah Barat Sumatera, apalagi sarana dan prasarana lalu lintas darat, laut dan udara semakin memadai. Visi Kota Padang yaitu ”Terwujudnya Kota Padang sebagai pusat perekonomian dan pintu gerbang per-dagangan terpenting di Indonesia bagian Barat tahun 2008”. Hal ini dapat diwujudkan karena Padang memiliki cukup banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia. Faktor yang mendorong Kota Padang sebagai pusat perdagangan adalah karena di daerah sekitarnya ter-dapat hasil bumi dan hasil tambang yang strategis yang diharapkan dapat dipasarkan melalui kota Padang, ter-utama wilayah bagian barat pulau Sumatera. Dalam lima tahun terakhir perdagangan berskala besar, menengah dan kecil menunjukkan perkembangan yang megembirakan. Hal ini dapat dilihat dari fakta yang ada dengan meningkatnya jumlah perusahaan per-dagangan dari 24.500 tahun 2002 menjadi 27.132 pada tahun 2005. Hal ini juga didukung dengan dibangunnya pusat-pusat perdagangan serta terus dikembangkannya pasar-pasar yang telah ada. Pemerintahan Dalam perjalanan seja-rahnya, pemerintahan di Kota Padang mengalami pasang surut. Hal ini dimulai dari zaman Belanda, Jepang dan Pro-klamasi kemerdekaan RI. Di za-man Belanda (VOC) di samping sebagai sebuah kam-pung nelayan Padang juga sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Waktu itu Batang Arau merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera. Pada masa VOC daerah ini berada dalam Onmder afde link Conterliur Van Padang dibawah lingkungan kekuasaan Pejabat Bumi Putra Regen Padang. Sehingga Padang memiliki dua fungsi, sebagai pusat perdagangan dan pusat kegiatan penjajah Belanda. Padang bahkan dijadikan daerah kedudukan residen atau kepala pemerintahan untuk daerah Sumatera barat. Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Padang seba-gai sebuah wilayah tetap setia berada dibawah pe-merintahan RI. Melalui ketetapan Gubernur Sumatera Barat tanggal 17 Mei 1946 No 103 Padang ditetapkan menjadi kota besar. Walikota Padang pertama adalah, Mr.Abubakar Ja’ar (1945—1946), menjabat beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar dipindahkan menjadi residen di Sumatera Timur. Selanjutnya Padang dipimpin oleh Bagindo Aziz Chan (1946-1947) yang dikenal sebagai Walikota Pejuang. Beliau gugur tanggal 17 Juli 1947 di tangan penjajah Belanda. Setelah Bagindo Aziz Chan gugur, Belanda me-lakukan agresi I, akibatnya secara de fakto Belanda menguasai Padang. Untuk itu pemerintahan kota Padang dipindahkan ke Padangpanjang dengan walikotanya Said Rasyad (1947). Pemerintahan Said Rasyad berlangsung tidak lama karena timbulnya agresi ke II. Walikota berikutnya adalah Dr.A.Hakim (1947—1949) dan me-merintah tidak terlalu lama. Setelah pemulihan kedaulatan RI tahun 1949 Padang dipimpin oleh Dr. Rasyiddin sebagai walikota yang ke lima (1949-1956 ) Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan kota Padang sebagai suatu daerah otonom. Walikota keenam (1956—1958), Pada tahun 1958-1966 Padang dipimpin oleh Z.A.St.Pangeran sebagai walikota ke tujuh. Berikunya walikota Padang adalah Drs. Azhari sebagai walikota ke delapan dan pada tahun 1967-1971 Padang dipimpin oleh Drs.Achirul Yahya yang merupakan Walikota ke sembilan Dengan keluarnya UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, kota Padang di samping daerah otonom ,juga merupakan wilayah administratif dikepalai oleh seorang walikota dan waktu itu diangkat sebagai walikota Padang ke sepuluh adalah Drs. Hasan Basri Durin (1971—1983). Sesuai dengan PP No. 17 Tahun 1980 Padang diperluas menjadi 694,96 Km2 terdiri dari 11 kecamatan dengan 193 kelurahan. Setelah Drs. Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya sebagai walikota Padang, maka diangkatlah Syahrul Ujud,SH sebagai Walikota Kota Padang kesebelas dengan kepemimpinannya selama sepuluh tahun (1983—1993). Berakhirnya kepemimpinan Syahrul Ujud, SH tongkat estafet kepemimpinan kota Padang diserahkan kepada Drs. Zuiyen Rais, MS (1993—2003) yang merupakan Walikota Padang ke dua belas. Sejak 2003 sampai sekarang, dua kali periode, Walikota Padang adalah Drs. Fauzi Bahar, Msi, walikota ke-13 dan ke-14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar