AMERIKA SERIKAT - Rabu (31/07/13)
Menjalani puasa bagi seorang mualaf, atau orang yang baru saja memeluk
agama Islam, di Amerika yang mayoritas masyarakatnya non-Muslim bukan
hal yang mudah. Banyak tantangan yang dihadapi Muslim baru, mulai dari
panjangnya masa berpuasa, hingga keberadaan mereka sebagai minoritas.
Shannon Johnson belum lama menjadi
mualaf. Programmer komputer yang bekerja sebagai pegawai negeri di
negara bagian New York itu untuk pertama kalinya menjalani puasa pada
Ramadan kali ini. Berpuasa pada musim panas, di mana lamanya berpuasa
lebih dari 16 jam, tentu saja menjadi tantangan besar bagi mereka yang
baru pertama menjalaninya.
Sebelum Ramadan, ia juga khawatir soal
berpuasa. ”Ya, saya punya kekhawatiran besar soal puasa, karena saya
tidak tahan panas dan juga khawatir karena tidak bisa minum,” kata
Shannon.
Kekhawatiran lainnya adalah mengenai
asupan nutrisi. Tetapi setelah beberapa hari menjalaninya, Shannon
mengaku tidak mengalami kesulitan lagi.
………….Shannon menambahkan, “Mereka jelas tidak mengerti hal-hal seperti itu, mereka bertanya-tanya mengapa saya melakukan itu, meragukan kemampuan saya berpuasa. Tapi keyakinan saya kuat, sehingga saya tidak khawatir akan apa yang dikatakan atau dipkirkan orang lain.”……..
“Kenyataannya, tidak sulit. Pada dua atau
tiga hari pertama memang agak sulit karena baru menyesuaikan diri.
Sekarang saya senang menjalaninya,” paparnya.
……Dalam hal ini, keluarga dan komunitas Muslim juga berperan membantu agar seorang mualaf dapat lancar menjalankan ibadah puasanya. Istri Shannon, Irma Meitia, misalnya, mengaku memberi contoh dengan menjalankan berbagai ibadah secara konsisten…………
Ia juga telah dapat menyesuaikan jadwal
hidup dan kebiasaan yang berubah. Hal yang ia sayangkan adalah ia tidak
bisa berolahraga setiap hari sebagaimana biasanya. Tantangan lainnya
adalah menghadapi keluarga dan koleganya yang baru mengetahui bahwa ia
sedang berpuasa.
Shannon menambahkan, “Mereka jelas tidak
mengerti hal-hal seperti itu, mereka bertanya-tanya mengapa saya
melakukan itu, meragukan kemampuan saya berpuasa. Tapi keyakinan saya
kuat, sehingga saya tidak khawatir akan apa yang dikatakan atau
dipikirkan orang lain.”
Dalam hal ini, keluarga dan komunitas
Muslim juga berperan membantu agar seorang mualaf dapat lancar
menjalankan ibadah puasanya. Istri Shannon, Irma Meitia, misalnya,
mengaku memberi contoh dengan menjalankan berbagai ibadah secara
konsisten.
Sebagai pengganti sebelum Ramadhan,
mereka tak jarang berdiskusi mengenai Islam dan Muslim. Mereka juga
menyempatkan diri untuk ikut acara iftar, atau berbuka puasa bersama
komunitas Muslim Indonesia di kota mereka. Irma dengan bangga
mengatakan hingga hari ke-23 Ramadan ini, Shannon tidak seharipun batal
berpuasa.
Kisah mualaf lainnya datang dari Los
Angeles, negara bagian California, di mana Jason Yau Lie tinggal.
Pengacara yang juga memiliki kantor pengacara sendiri ini mengikrarkan
syahadat lebih dari 10 tahun silam, tetapi ia mengaku baru benar-benar
mendalami dan menjalankan seluruh kewajibannya sebagai Muslim dalam
beberapa tahun belakangan. Berpuasa pada musim panas juga masih menjadi
tantangan besar baginya.
“Dalam profesi saya itu harus pergi ke pengadilan, harus berbicara dengan pihak pengacara yang lain, kepada hakim, harus argue di
pengadilan. Sudah pasti merasa haus sekali. Tapi bagaimanapun juga saya
tetap merasa harus menjalankan ibadah puasa karena ini kewajiban,” ujar
Jason.
Jason berharap sebagaimana tahun lalu, ia
dapat menyempurnakan ibadah puasanya kali ini. Selama bulan Ramadhan
ini, ia juga mendekatkan diri dengan komunitas Muslim di sekitarnya.
Selain mengikuti kegiatan iftar dan
tarawih bersama komunitas Indonesia di Konsulat Jenderal Indonesia di
Los Angeles, Jason mengaku mendapat lebih banyak pengalaman dengan
mengikuti kegiatan serupa di Islamic Center di kota itu, yang para
jamaahnya berasal dari berbagai negara.SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar