Kenyataannya negeri ini masih membutuhkan orang-orang besar.
Orang-orang yang sanggup mengubah keadaan dan mengangkat harkat negeri
ini dari dasar jurang ke puncak kejayaan. Orang-orang yang mengerahkan
daya upaya dan pikirannya untuk kemakmuran bangsa. Meskipun mereka
jumlahnya relatif sangat sedikit, namun keperkasaan pengaruhnya sanggup
dirasakan tidak hanya dari Sabang sampai Merauke bahkan menjalar ke
seluruh dunia.
Karena itu, sungguh ironis bila mereka pada akhirnya tidak
operasional di negeri sendiri. Terpencil mengabdi di negeri orang
akibat ulah rekan-rekannya yang licin bak belut dalam mengelabui
rakyat.
Itulah yang dialami BJ Habibie. Ketika usia telah merambah tua,
menapaki sisa-sisa waktu produktifnya, rintangan masih bergulung besar
yang menghalanginya memenuhi harapan rakyat. Kerinduan rakyat terhadap
karyanya pun seolah memang ditakdirkan untuk tidak terjadi lagi.
Ingin tahu kenapa dunia begitu menghargai Habibie? Dan rakyat
Indonesia bersabar menahan kerinduannya? Yang bahkan ketika ada seorang
anak bangsa bekerja di luar negeri dan mengaku sebagai murid Habibie,
orang bule pun segera segan kepadanya? Kurang lebih seperti inilah
dunia melihatnya…..
Kulit luarnya bisa saja terlihat halus mulus tanpa cacat. Tapi siapa
tahu, sisi dalamnya keropos. Ketidakpastian inilah yang dihadapi
industri pesawat terbang sampai 40 tahun lalu. Pemakai dan produsen
sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi pesawat terbang masih
andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal. Pada awal 1960-an,
musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan konstruksi
yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit
dideteksi dengan keterbatasan perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor
laser yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi
persoalan rawan ini.
Titik rawan kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan
badan pesawat terbang atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen
inilah yang mengalami guncangan keras dan terus-menerus, baik ketika
tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas,
sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika
menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh
pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan
(krack).
Titik rambat, yang kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu terus
merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang. Kalau
tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa sontak patah saat
pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan tentu amat peduli, apalagi
saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller ke jet.
Potensi fatique makin besar.
Pada saat itulah muncul anak muda jenius yang mencoba menawarkan
solusi. Usianya baru 32 tahun. Postur tubuhnya kecil namun pembawaannya
sangat enerjik. Dialah Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, laki-laki
kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936.
Habibie-lah yang kemudian menemukan bagaimana rambatan titik krack
itu bekerja. Perhitungannya sungguh rinci, sampai pada hitungan
atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini lantas dinamakan
krack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan sebagai Mr.
krack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa
menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya
lebih mudah dan murah.
Sebelum titik krack bisa dideteksi secara dini, para insinyur
mengantispasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara
meninggikan faktor keselamatannya (SF). Caranya, meningkatkan kekuatan
bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoritisnya. Akibatnya,
material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang, material
aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik krack bisa
dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih
campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja
dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam
dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat
tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10% dari bobot
sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25% setelah
Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Namun
pengurangan berat ini tak membu
at maksimum take off weight-nya (total bobot pesawat ditambah
penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara umum
daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga
secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.
Faktor Habibie ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi
penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan
badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan
tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada
sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga
mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi
penambah potensi fatique menjadi turun.
Riwayat keilmuan Habibie dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari
pemerintah untuk belajar di Technische Hochschule Die Facultaet Fue
Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada 1956. Selama setahun sebelumnya,
Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB. Setelah mengantongi gelar
diploma ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang, tahun 1960, sambil
melanjutkan kuliahnya, ia menjadi asisten Riset Ilmu Pengetahuan
Institut Konstruksi Ringan di kampusnya.
Otak Habibie makin kelihatan encer kala gelar doctor ingenieur-nya
disabet dengan predikat suma cum laude pada 1965. Rata-rata nilai mata
kuliahnya 10. Presatsi ini membuatnya dipercaya jadi Kepala Departemen
Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger Flugzeugbau (HFB).
Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan kestabilan konstruksi
bagian belakang pesawat Fokker 28. Luar biasa, hanya dalam kurun waktu
enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie.
Ia meraih kepercayaan lebih bergengsi, yakni mendesain utuh sebuah
pesawat baru. Satu diantara buah karyanya adalah prototipe DO-31,
pesawat baling-baling tetap pertama yang mampu tinggal landas dan
mendarat secara vertikal, yang dikembangkan HFB bersama industri Donier.
Rancangan ini lalu dibeli oleh Badan Penerbangan dan Luar Angkasa
Amerika Serikat (NASA).
Habibie hanya sampai tahun 1969 saja di HFB, karena dilirik oleh
Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB), industri pesawat terbesar yang
bermarkas di Hamburg. Di tempat yang baru ini, karier Habibie meroket.
Jabatan Vice President/Direktur Teknologi MBB disabetnya tahun 1974.
Hanya Habibie-lah, orang diluar kebangsaan Jerman yang mampu menduduki
posisi kedua tertinggi itu.
Di tempat ini pula Habibie menyusun rumusan asli di bidang
termodinamika, konstruksi ringan, aerodinamika dan krack progression.
Dalam literatur ilmu penerbangan, temuan-temuan Habibie ini lantas
dikenal dengan nama Teori Habibie, Faktor Habibie dan Metode Habibie.
Paten dari semua temuan itu telah diakui dan dipakai oleh dunia
penerbangan internasional.
Pesawat Airbus A-300 yang diproduksi konsorsium Eropa (European
Aeronautic Defence and Space) tak lepas dari sentuhan Habibie. Maklumlah
dalam konsorsium ini tergabung Daimler, produsen Mercedes-Benz yang
mengakuisisi MBB. Sehingga Habibie berhak atas royalti dari teknologi
yang dipakai dalam kendaraan udara berbadan lebar itu. Selain dari
Airbus, Habibie juga mendapat royalti dari produsen-produsen roket di
banyak negara, yang banyak menggunakan teknologi konstruksi ringannya.
Tahun 1978, Habibie dipanggil pulang ke Tanah Air oleh Presiden
Soeharto dan sejak itu kemudian berkiprah dalam upaya pengembangan
teknologi kedirgantaraan di Indonesia, Hasilnya antara lain pesawat
terbang pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250.
Prestasi keilmuan Habibie mendapat pengakuan di dunia internasional.
Ia menjadi anggota kehormatan berbagai lembaga di bidang dirgantara.
Antara lain di :
Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman,
The Royal Aeronautical Society London (Inggris),
The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia),
The Academie Nationale de l’Air et de l’Espace (Prancis) dan
The US Academy of Engineering (Amerika Serikat).
Sedangkan dalam bentuk penghargaan, Habibie menerima Von Karman Award
(1992) yang di bidang kedirgantaraan boleh dibilang gengsinya hampir
setara dengan Hadiah Nobel. Dan dua tahun kemudian menerima penghargaan
yang tak kalah bergengsi, yakni Edward Warner Award.
SUMBER
Warga Main Hakim Sendiri Karena Hakim Sering Main- Main
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar