Setelah
merdeka, masyrakat seberang ulu dan seberang ilir jika hendak
menyeberang. Mereka menggunakan transportasi air berupa perahu atau
tongkang. Masyrakat Palembang lalu meminta kepada Presiden RI pertama,
Ir Soekarno untuk membuat jembatan yang dapat memudahkan akses
transportasi melakukan penyeberangan. Soekarno setuju. Pembangunan
jembatan dimulai 16 September 1960 silam. Biaya pembangunannya diambil
dari dana pampas an perang Jepang yang ditaksir kala itu sekitar 2,5
miliar yen. Tenaga ahli juga didatangkan dari negeri matahari terbit
tersebut. Semula bagian tengah badan Jembatan Ampera ini bisa diangkat
bila ada kapal besar yang lewat di bawahnya. Bagian tengah jembatan
dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat
masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan mengangkat
hanya butuh 30 menit untuk mengangkat penuh jembatan. Namun kemampuan
untuk angkat badan jembatan itu hanya bertahan sekitar 10 tahun. Sebab
pada tahun 1970, bagian tengah jembatan ini sudah tidak dapat diangkat
lagi karena arus lalu lintas sudah mulai ramai yang melewati jembatan
itu. Kapal kecil yang memiliki ketinggian maksimal 9 m, masih dapat
lewat di bawah jembatan kebanggan wong kito ini. Tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara ini diturunkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Jembatan
Ampera semula berwarna abu-abu. Kemudian sempat diubah warna kuning
pada masa Orde Baru. Kemudian di masa kepemimpinan Wali Kota Eddy
Santana Putra, warna jembatan itu itu dicat merah. Eddy Santana yang
ingin menghidupkan wisata bahari Palembang. Menghiasi jembatan tersebut
dengan lampu-lampu yang menarik. Alhasil landscape berlatar
belakang Jembatan Ampera sangat indah dengan kerlap-kerlip cahaya lampu
yang menawan. Ada juga orang yang berkomentar melihat Jembatan Ampera
setelah dipoles, laksana melihat jembatan San Fransisco di malam hari.
Mungkin perbandingan ini amat jauh namun sedikitnya wong Palembang,
boleh bangga karena keindahan jembatan itu mulai menyedot perhatian.
Obsesi Eddy Santana untuk menjadikan Jembatan Ampera sebagai ikonnya
kota Palembang secara internasional berangsur-angsur sepertinya mulai
terwujud. Televisi nasional mulai sering menggelar event nasional
berlatar belakang jembatan tersebut.
Jembatan
Ampera atau orang-orang tua kadang menyebutnya ‘Proyek’ diresmikan
Letjen Ahmad Yani, pada 30 September 1965. Ini merupakan kiprah terakhir
Letjen Ahmad Yani di Sumsel karena besoknya beliau tewas dibunuh oleh
Gerakan 30S-PKI. Mulanya jembatan ini dinamakan Jembatan Bung Karno.
Pemberian nama ‘Bung Karno’ sebagai ungkapan terima kasih masyarakat
Sumsel khususnya warga Palembang karena Presiden Soekarno telah
mengabulkan permintaan masyarakat agar dibangunkan jembatan. Namun saat
itu wibawa Bung Karno sedang merosot tajam apalagi pasca peristiwa
penculikan tujuh jenderal dalam Gerakan 30S-PKI. Gerakan Anti-Soekarno,
menyebar dimana-mana sehingga berakibat juga pergantian nama jembatan
menjadi Jembatan Ampera yang merupakan singkatan dari Amanat Penderitaan
Rakyat.
Jembatan kebanggan wong Sumsel
ini, sudah sering tertabrak kapal pembawa batu bara yang melintas di
bawahnya. Selain memang sudah berumur ada benturan keras itu menyebabkan
pergeseran sehingga diperlukan renovasi. Tahun 1981, pemerintah
menghabiskan dana sekitar Rp. 850 juta dalam melakukan renovasi.
Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan
Jembatan Ampera bisa membuat ambruk. Kekhawatiran ini cukup beralasan.
Januari 2008 silam, sebuah tongkang pembawa batu bara menabrak jembatan
ini hingga menyebabkan salah satu tiang fender patah. Seorang peramal
asal Belanda, Mama Laurent juga pernah meramalkan pada tahun 2007
Jembatan Ampera akan ambruk jika tidak dilakukan renovasi. Memang
ramalan itu tidak terbukti apalagi pemerintah menyikapinya dengan
melakukan renovasi. Pemerintah Jepang juga pernah melakukan riset yang
kesimpulannya menyatakan Jembatan Ampera masih tetap kokoh sampai 50
tahun lagi.
Masih
kuat dalam ingatan kita, pada era 1970 hingga 2000, suasana dibawah
Jembatan Ampera sangat kumuh dan becek. Disana berkumpul mobil angkot
tua antre menunggu penumpang, penjual buku dan majalah bekas, pedagang
pakaian bahkan jika sore pedagang ikan juga menggelar dagangannya
disana. Suara hiruk pikuk suara pedagang menjajakan barang dagangannya
ditambah aroma tidak sedap dari tempat sampah yang tidak diangkat
petugas kebersihan sehingga isinya sudah meluber dari tempat yang
disediakan. Sekarang pemandangan itu tidak ada lagi. Pemerintah Kota
Palembang terus menata sekitar Jembatan Ampera termasuk juga
gedung-gedung pertokoan di Pasar 16 ilir, yang merupakan bangunan lama
ditata apik. Catnya diperbarui, atap-atapnya juga dibuat dengan
menonjolkan desain lama yang mengandung sejarah. Pada malam hari, di
bawah Jembatan Ampera Seberang Ilir, banyak pedagang berjualan berbagai
jenis kuliner murah meriah namun enak di lidah. Gebrakan Wali Kota Eddy
Santana Putra dalam mewujudkan Wisata Bahari dengan ikon Jembatan Ampera
dan BKB, sepatutnya mendapat acungan jempol. Di seberang ulu, Pemkot
Palembang juga akan membangun plaza yang memungkinkan masyarakat dapat
menikmati keindahan sungai yang merupakan urat nadi perdagangan
internasional pada masa Kerajaan Sriwijaya. Pemerintah juga akan
menjadikan Rumah Kapitan sebagai salah satu lokasi kunjungan wisata di
Kota Palembang.
Di
masa dia, pedagang kaki lima (PKL) dapat dipindahkan tanpa harus ada
ketegangan yang berdampak anarkis. Sebagai warga Kota Palembang atau
Sumsel, seharusnya kita ikut berpartisipasi mewujudkan Palembang sebagai
kota wisata bahari dengan turut menjaga keamanan, keramahan serta
kebersihan sehingga wisatawan baik domestik maupun mancanegara merasa
nyaman dan aman berada di kota empek-empek ini. Bukankah jika banyak
wisatawan akan berdampak meningkatnya perekonomian wilayah yang
bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar